Friday, May 18, 2012

Stranger II

Aku mencoba menghubungi Ris sore hari, sayangnya hanya mesin penjawab yang menerima panggilanku. 

"Hai, Sayang," sapaku "Hanya ingin berbicara, aku merasa ingin mendengar suaramu! Tidak perlu membalas telponku, aku akan menelepon lagi malam ini seperti biasanya. Oh dan Sayang... Aku pikir kita harus bertemu sesegera mungkin." Aku tidak merencanakan mengatakannya, tapi, setelah mengatakannya, aku senang. Mari kita selesai dengan cepat, merasakan sentuhan, bahkan bercinta. Mungkin dengan begitu aku bisa mengeluarkan wajah Pat dari pikiranku.

 Aku bermimpi malam itu tidur dalam pelukan Pat. Memandang wajahnya, melihat bibirnya mendekat saat ia menundukkan kepala perlahan-lahan menyentuh bibirku. Saat bibir kita bersentuhan, aku terbangun dengan perasaan kosong, kehilangan . Menyadari itu hanya mimpi.

Aku berbaring di tempat tidur menunggu debaran dadaku kembali normal. Apa yang terbaik untukku? Bertemu Ris dan belajar mencintai wajah dan tubuhnya, tahu bahwa aku sudah mencintai apa yang ada di dalam dirinya, kepribadian, sifat, karakter? Atau mencoba melihat apakah aku bisa mengenal Pat lebih dalam, mengetahui bahwa aku sudah sangat tertarik dengan tampilan luarnya. Dilema, bahkan logikaku mengatakan untuk tidak melakukannya. "Pergilah ke arah yang menurut Anda benar -. Pergilah pada orang yang benar-benar sudah jelas menyayangimu dan membuatmu merasa nyaman." sementara di sisi lain, suara lain mendesakku "Pergilah dengan nalurimu, berani untuk mencari tau lebih jauh tentang dia, berani mengetahui apakah kamu bisa mencintainya. "

Aku bertanya-tanya apakah terlalu dini untuk menghubungi Ris. Apakah dia mengerti keinginanku mendengar suaranya, tanpa aku harus menjelaskan? Aku tahu dia akan mengerti. Aku mengenalnya dengan baik - namun... Di telepon malam sebelumnya dia terlihat sedikit enggan dengan rencana pertemuan kami, dengan alasan jadwal yang sibuk untuk tiga atau empat malam berikutnya. 

Semalam dia menceritakan seorang teman yang mengira dirinya telah jatuh cinta dengan orang asing hanya setelah melihatnya beberapa kali. 

"Apakah menurutmu ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, kedua atau ketiga?" Dia bertanya, pertanyaan yang telak menohok ke ulu hati. Aku akan mencoba menjawab jujur.

"Aku tidak tahu tentang cinta tapi aku yakin akan dapat merasakan daya tarik yang kuat - daya tarik terhadap seseorang. Mungkin itu 'nafsu pada pandangan pertama! " lelucon terakhir tidak membuatnya tertawa seperti yang aku harapkan, dia hanya diam. 

"Ya, kurasa kau benar." Dia mengakui dengan enggan. "Ya. dia harus mengenal orang itu lebih dulu, bukan " Dia sepertinya lebih yakin dengan saran yang akan dia berikan kepada temannya. 
Aku memutuskan untuk tidak meneleponnya. Aku akan memberinya waktu sendiri. Pada jam 1 siang, aku membuat keputusan. Aku akan pergi satu kali lagi dan kemudian, begitu aku bertemu Ris, aku tidak akan mencari perempuan itu lagi. Keputusan itu membuatku bersemangat, aku berjalan cepat ke arah mobil untuk menemuinnya. 

Dia tidak ada di sana ketika aku tiba, tapi tak apa aku datang sedikit terlalu cepat. Aku memesan dan mulai makan siang, tidak mencicipinya hanya merencanakan tindakanku selanjutnya. Aku akan menyapannya dan mengundang dia untuk duduk di mejaku. Mungkin aku akan mencari cara untuk ngobrol tanpa memperlihatkan ketertarikanku padanya. Menit demi menit berlalu dengan cepat saat aku membuat rencanaku, ketika aku melihat jam, sudah setelah 14:00. Dia tidak pernah seterlambat ini sebelumnya. 

Aku memesan kopi lagi, setengah meyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar-benar menginginkannya. Aku bertekad untuk tidak duduk menunggu dan berharap tapi aku tidak juga beranjak pergi sampai hampir 2:30. "Well, itu saja. Aku tidak akan kembali. Aku akan melupakannya." akhirnya aku menyerah. 

Rasannya aku tidak ingin kembali ke kantor, jadi aku berjalan-jalan untuk sementara waktu, melihat toko-toko. Sedikit terkejut ketika aku bertabrakan dengan seseorang yang bergegas keluar melalui pintu. Seorang wanita, tetapi harus mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya dan, ketika aku melakukannya, aku sedikit mundur karena aku mendapati diriku sedang melihat wajah Pat. Dia dengan cepat meraih tanganku, mencengkeramnya mencegahku jatuh. 

"Maaf, tadi tidak melihat..." tergagap aku meminta maaf.

"Tidak, itu kesalahanku. Aku tergesa-gesa keluar dari cafe "sekilas aku melihat papan nama di belakangnya saat aku menyadari bahwa itu memang sebuah cafe. Aku merasa alisku mengangkat kaget dan ia membaca pikiranku. Mukannya sedikit memerah. 

"Ya, aku mencoba tempat baru sampai aku menyadari aku lebih memilih berada di cafe Octavia, jadi aku bergegas ke sana." Dia menjelaskan panjang lebar, seolah-olah dia benar-benar ingin membuatku mengerti. Aku bertanya-tanya apakah ia bergegas untuk melihatku tapi kemudian aku tiba-tiba berpikir dia telah menghindari cafe agar tidak melihatku, tetapi mengapa? Dan mengapa ia tampaknya berubah pikiran? 

Aku menyadari bahwa aku sedang menatap ke matanya. Ibu jarinya mulai mengusap lembut di bagian dalam pergelangan tanganku. 

"Apakah kamu baru saja dari café oktavia?" Tanyanya dengan suara yang lebih akrab dan menarik bagiku. Aku mengangguk, tak sanggup bicara karena aku bisa merasakan denyut nadiku di bawah sentuhan ibu jarinya. 

"Apakah kamu ada waktu untuk minum kopi lagi?" Tanya dia dan aku seakan teringat kilas balik secara tiba-tiba Ris pernah bertanya bercanda melalui telepon menawariku secangkir kopi yang dia buat. Rasa bersalah memukulku dengan keras dan aku melepaskan tanganku. 

"Tidak, maaf. aku harus buru-buru, "suaraku cepat, "Aku minta maaf lagi karna menabrak kamu. Oh, by the way aku mungkin tidak bisa mampir ke café lagi. Senang bertemu dengan kamu " menunduk menghindar dari kekecewaan di matanya. Aku mengambil beberapa langkah ke belakang kemudian menoleh ke belakang. Berbaur dengan kebingungan di wajahnya, aku melihat ada perasaan sedikit lega. Dan entah kenapa aku merasa terluka karenannya. 

 "Bye, Veonna" ujarnya lembut, membawa setengah kenangan; sesuatu yang akrab tapi kurang tepat. Perasaan itu memudar secepat aku berikan satu senyum singkat dan berjalan menuju mobilku. 

“Well, itu saja ... Tidak lebih Pat." Aku berusaha menemukan perasaan damai dalam pikiran, tetapi itu benar-benar tidak membantu. Kataku dalam hati sekali lagi bahwa good looks dan superficial attraction tidaklah cukup. Aku teringat Ris, aku tahu aku mencintainya dan tiba-tiba merasa sangat ingin melihatnya. Aku menyibukan diri dengan pekerjaan dan selesai dalam waktu singkat. Pada 05:00 aku menelpon Ris dan mengatakan bahwa aku ingin bertemu dengannya malam ini jika memungkinkan. Dia sedikit terkejut namun kemudian berbicara tegas. 

"Ya, sudah waktunya - ok terlambat sebenarnya." katannya.

Kami merencanakan untuk bertemu di sebuah gay bar kecil di dekat rumahku. Tempat yang cukup nyaman, ramah tetapi memiliki stand privasi. Aku mengatur pertemuan di bar sekitar pukul 07:30 dan aku bilang aku akan mengenakan kemeja merah dipadu celana hitam. 

"Baiklah. Aku akan mengenakan atasan ungu. Aku harap bajunya bersih! Aku mungkin akan mengenakan jeans hitam. Rambutku ..... " 

"Tidak! Jangan bilang apa-apa, Ris. "Selaku" Aku akan melihatmu segera. "

"Aku akan menemuimu malam ini. God… semua ini terdengar sangat aneh! Bye Vee." Suaranya lembut dan penuh janji dan hatiku berdebar cepat, 

"Oh God, aku harap dia menyukaiku, dan begitu pun aku.” Doaku setelah menutup telepon. 



Berasambung... ke Stranger III

No comments:

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...