Café sedikit senyap saat kami bertiga tiba di sana. Ada dua laki-laki duduk di meja kayu yang terletak di sebelah kanan teras. Kemudian beberapa laki-laki di meja yang bersebelahan dengan tanaman hias. Sementara di dalam, suasana terasa sedikit lengang.
Tepat di depan deretan pigura yang tertata rapi sepanjang dinding café, duduk perempuan muda yang terus berkutat dengan laptop dan cangkir kopi yang hampir kosong. Dia mengenakan kemeja casual, telingannya dijejali headset, sesekali menyeruput kopi, dan menyeka mulut. Wajahnya agak oval dengan rambut diikat menyerupai ekor kuda. Mungkin dia mahasiswa salah satu universitas dekat sini yang dikejar target harus segera menyelesaikan skripsi, dan di mana lagi tempat paling pas untuk berfikir dengan suasana tenang selain di tempat seperti ini.
Ah… suasana khas sebuah café, entah hanya dalam imajinasiku saja atau memang ada alunan music samar-samar menyeruak di ruang beraroma kopi. Kadang aku berpikir, orang-orang hanya masuk ke cafe, tapi tak pernah benar-benar keluar lagi. Seolah ada yang tertinggal pada dinding-dinding berwarna krem-muda, pada plafon cokelat-hitam, pada pigura-pigura yang bercerita tentang sebuah perjalanan.
“Mau pesan apa mbak?.” Seorang perempuan muda berkacamata menghampiri kami, rambutnya pendek dengan gaya tomboy, namun sedikit malu-malu menyodorkan daftar menu untuk kami pilih. Aku terlalu sibuk mengamati sekelilingku sehingga tidak menyadari keberadaannya. Bingung dengan banyaknya pilihan menu. Padahal perut kami sudah keroncongan semenjak turun dari bis tadi. Untunglah dia cukup sabar mencatat pesanan kami bertiga.
* * * * * *
Aku mengamati 3 macam minuman yang baru saja di antarkan ke meja kami. " Moccacino yang terdiri dari Caffee Latte dicampur coklat. Mocha sebenarnya adalah sebuah nama varietas kopi dari daerah Mocha, Yaman. Meskipun dibuat tanpa campuran coklat, tapi kopi mocha asli Yaman seperti ada rasa coklat didalamnya. Kemudian ini, Cappucino New Guinea, menu special kami mempunyai sejarahnya sendiri. Racikan dari espresso, oreo, susu murni, coklat serut ice cream vanilla, yang di siram sedikit rhum cake." Sang barista menerangkan.
Sayangnya sore itu aku hanya memesan satu gelas teh sereh. Bukan aku tidak menyukai kopi, hanya saja, sejak dulu aku tak berbakat menjadi pecandu kopi. Karena ternyata secangkir kopi saja sudah cukup membuat jantungku tak henti bergeletar. Berdebar-debar. Aku mengaduk dan menyesapnya berlahan. Sesuatu yang hangat dan berbau rempah akan sedikit meredakan pusing dan rasa mual di perutku.
Tawa dan obrolan hangat di antara cangkir kopi dan kepulan asap Marlboro Menthol menggeliat di dalam ruangan 3x3 meter. Sofa berwarna coklat muda, lampu gantung yang membuat ruangan itu terasa semakin nyaman dengan warna senja.
Ada yang bermain gitar, ada yang berbicara cepat, ada yang hanya mendengarkan dan sesekali menimpali. Wajah-wajah baru yang entah kenapa terasa begitu akrab. Bercanda, mentertawakan sepenggal dunia yang hampir seperti taman bermain raksasa. Bagai mana dunia itu membuat kami bertemu saat ini. Keakraban yang memabukkan.
Untuk kesekian kali, tawa pecah. Renyah, Seakan tiada beban pikiran . Begitulah yang selalu terjadi pada pertemuan-pertemuan. Pertemuan yang selalu saja terasa singkat. "Betapa sebenarnya aku menginginkan saat-saat seperti ini bisa terjadi lagi." Pikirku , tak ada satupun yang menjadi tak ada. Semua masih terlalu nyata untuk bisa disebut sirna, antara dunia maya yang menjadi nyata. Tetapi pesta semeriah apapun pada akhirnya akan berakhir juga. Tak ada yang perlu di sedihkan karna aku yakin perpisahan akan membawa kepada pertemuan selanjutnya.
Di luar mendung, lekuk-lekuk awan seperti tak sabar melompat liar. Perpisahan saat warna emas memantul di atas daun dan ranting pohon, menyepuh batu cadas di lereng bukit, menyiram langit dengan cahaya gemilang merah kekuning-kuningan, lalu berangsur-angsur menghitam. Hitam yang muram, kemudian menjelma kelam. Di antara decit rem, klakson, aliran mobil, gedung-gedung memagar langit, dan juga orang lalu-lalang aku kembali pulang.
~Bandung, 15 April 2012