Dalam teori, perkawinan selalu diromantisasi. Lembaga itu di ibaratkan sebagai jenjang kehidupan yang manis. Puncak dari pertemuan dua hati yang digetarkan arus listrik yang senada.
Sepasang manusia saling tertarik. bukan sekedar untuk bersahabat. mereka ingin sayang menyayangi, kasih mengasihi, bela-membela dan jangan lupa bercinta secara bebas. Dalam ikatan perkawinan permainan asmara tidak menjadi dosa dan kejahatan. Seks tidak menjadi kotor tetapi kebutuhan rohani yang dihalalkan.
Untuk melindungi hasrat sepasang merpati ini, diperlukan pengesahan ritual dan proteksi hukum. Orang yang setuju menikah adalah sepasang manusia yang ingin hidup bersama, membentuk rumah-tangga dengan pembenaran secara legal, kultural, dan ritual. Dalam ikatan kawin, pasangan itu kemudian bebas bermain asmara sepuas-puasnya dan juga aman dari gangguan pihak ketiga dengan jaminan hukum. Pokoknya enak....
Tetapi itu teori. Di dalam prakteknya, kata lain....
Seorang lelaki yang sudah kawin kepalanya tidak lagi satu, melainkan dua. Badannya, kemauannya menjadi ganda. Karena apapun, di manapun ia berpikir dan merasa, itu dengan sendirinya akan memberi efek kepada istrinya. dan kalau anak-anak lahir dari perkawinan itu, kepala yang ditanggungnya jadi bertambah banyak. Ruang semakin sempit. Bahkan tak jarang ia harus memikirkan kepala-kepala diluar ikatan rumah tangga itu. Misalnya kepala anggota keluarganya sendiri dan kepala anggota keluarga istrinya. Tak jarang kepala nya sendiri tak sempat diurus lagi. Kemauannya sendiri hilang. Cita-citanya sendiri harus dikubur. kadangkala keluarganya sendiri seperti tenggelam ke masa silam, kesejarah orang lain. Ia praktis menjadi anak hilang.
Anehnya kendati perkawinan seperti membegal lelaki habis-habisan, lelaki merasa bahagia. Perkawinan membuatnya merasa lengkap. Sebagaimana didalam pewayangan sudah dilakukan oleh Resi Bhisma, pengorbanan adalah kebahagiaan. Makin banyak berkorban ada lelaki yang merasa lebih jantan. Baginya perkawinan tak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi . Perkawinan adalah gurun kewajiban yang tiada bertepi. Rimba pengabdian dan lautan subsidi dan tunjangan yang abadi dengan mengorbankan diri sendiri.
Tetapi ada juga lelaki yang menolak. Baginya perkawinan bukanlah peternakan kepala. Ia tidak sudi kepala lain yang bukan darahnya menjadi tanggungannya. Ia membatasi kepala-kepala itu sampai pada kepala istri dan anak-anaknya. Bahkan ada jenis lelaki yang sama sekali emoh menganggap perkawinan sebagai upacara menambah tanggungan kepala. Jangankan kepala keluarga istrinya, kepala istrinyapun tidak sudi ia perhitungkan. Sebaliknya ia sendiri malah mencantelkan kepalanya di pundak istrinya. Ia menolak kewajiban untuk menerima kehadiran istrinya di dalam dirinya. ia juga memaksakan istrinya berpikir untuk dia. Lelaki seperti itu adalah tipe lelaki macho. Anehnya banyak perempuan yang suka...
Perkawinan itu penting kalau pasangan itu berhadapan dengan orang ketiga. Baik Romeo atau pun Juliet, kedua-duanya adalah musuh yang mengancam. Perkawinan itu menjadi benteng yang menjamin keamanan pasangan tersebut dari jamahan pihak ketiga. Hanya saja benteng itu gampang sekali menjadi "hansip" yang tolol dan bebal, kalau kedua orang dalam ikatan perkawinan itu sendiri ingin melakukan terobosan bahasa populernya Penghianatan.
Kalau yang bersangkutan sudah mau nyeleweng, jalannya ada saja. Bahkan lebih banyak dari "Jalan Ke Roma". Oleh prilaku yang bersangkutan perkawinan langsung keder, tak berdaya memberi sanksi. Tak berdaya memberi kendali moral. Pada pasangan-pasangan yang dengan kemauan sendiri melanggar tali perkawinan, perkawinan jadi anjing ompong yang tak berdaya.
Banyak contohnya bahwa perkawinan tidak dengan sendirinya melindungi lagi. Perkawinan tidak sakti lagi. Kata orang perkawinan jaman sekarang sudah kehilangan nilai sakralnya. Tidak dengan sendirinya memberi jaminan bebas dari campur tangan orang ketiga. Lembaga istri simpanan, lembaga suami simpanan, lembaga the other man or women, justru tambah eksis setelah "diseminar sehari". malah menjadi jelas bentuknya dan sedikit-sedikit ditolelir dengan berbagai dalih lihai atau pembenaran psikologis.
Tapi jangan salah. berbicara perkawinan di dalam kenyataan, kita akan menemukan berbagai jenis, pola, kecenderungan, dan gaya. Seperti ideologi, ada yang ekstrim kiri, ekstrim kanan, ada juga yang biasa-biasa saja. Jenisnya banyak. Seperti jajanan pasar. Ada yang asin, manis, pahit, atau tawar. Ada yang hitam tapi enak, ada yang gemerlap tapi menumpuk lemak. Ada perkawinan yang kacau. Tetapi tidak berarti perkawinan itu kacau. Ada Perkawinan yang langgeng dan bahagia.
Model perkawinan banyak. Tinggal pilih yang mana. Kita hidup dalam alam demokrasi, jadi terserah. Asal jangan main propaganda memaksa yang lain ikut pola yang kita anut. Asal jangan melakukan generalisasi. Perkawinan memang berpungsisosial, tetapi jangan lupa juga merupakan lembaga yang sangat pribadi, untuk pasangan yang terlibat.
Arti perkawinan di dalam masyarakat yang semakin memetropolitan jadi majemuk. Wajah perkawinan jadi berlapis-lapis, sesuai dengan lapisan jenis manusianya. Dulu misalnya ada nasihat kepada seorang wanita, "Hai Dewi Supraba ikutilah suamimu sampai ke ujung dunia dan setialah sampai mati". SEkarang banyak Dewi Supraba yang tidak sudi ke ujung dunia, dia lebih suka ngendon di dalam kota. Apalagi setia sampai mati, itu namanya gila. Setia itu secukupnya saja, yang wajar, yang tidak ngoyo kata orang Jawa. dan itu boleh-boleh saja.
Dulu para suami memakai moto yang kedengarannya jantan. "Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga suami harus memikul segalanya". Sekarang banyak lelaki yang berani berbuat berani tidak bertanggung jawab. Menanggung resiko dia tidak suka karena tidak enak rasanya. gaya hidup begini juga boleh-boleh saja.
Kita sudah salah mengartikan tata cara, ritual, proses, bahkan status sosialnya mungkin menebal-menipis.
Tetapi itu hanya kulit, dari dulu sampai sekarang perkawinan tidak pernah merupakan penjara, tetapi justru pembebasan. Perkawinan adalah babak baru memerdekakan manusia.
Perkawinan adalah kelahiran seorang manusia bocah menjadi manusia dewasa. Perkawinan yang membawa kebahagiaan, kesempatan, perkembangan sekaligus yang sebaliknya, menjadikan ia sebagai kursus kilat menatap kehidupan. Perkawinan bukan membuat orang terjaga lalu hanya maju, tetapi bisa juga mundur. Interpretasi terhadap lembaga perkawinan sesuai dengan dinamika hidup. Perkawinan jadi setuju saja untuk diartikan apa saja oleh pasangan-pasangan yang melakukannya.
Pada sejumlah pasangan perkawinan tidak lagi berati pengurangan kebebasan. Meskipun sudah kawin, status mereka secara praktis tak berubah. Mereka tetap saja sepaka untuk sama-sama bebas, hanya berstatus kawin. Kadangkala bisa bebas dalam arti tak terbatas. Kita boleh risi, tak setuju, tetapi jangan-jangan mempraktekannya sendiri-hanya saja kalau menyangkut pasangan kita kita bersikap menentang. Itu perilaku ego. Hanya kaum wanita yang memang agak dirugikan, karena sangsi yang dijatuhkan kepada mereka suka dibesar-besarkan. Sementara kalau terjadi pada laki-laki pura-pura didiamkan, bahkan ada yang dibanggakan.
Pada beberapa pasangan perkawinan melesat jadi penganut aliran "futuristik". Bergelimang kemerdekaan dengan memuja kata "Bebas", tetapi perkawinan tetangganya ada yang tetap beraliran konvesional. Penuh dengan aturan. Penuh dengan kewejangan. Penuh dengan tabu. Tetapi kalau di usut dikejar lebih jauh, segala aturan yang mengekang itu juga hakikatnya pembebasan. Mengapa pembebasan...?
Karena yang tabu-tabu itu akhirnya jadi senjata, menjadi penolong untuk membebaskan pasangan itu dari kegilaan zamannya. Artinya dalam tren kebebasan yang semakin gila sampai tak terbatas dalam suasana kehilangan nilai sakral dewasa ini, tabu-tabu itu justru membebaskan pasangan itu dari sedotan demoralisasi. Dari ancaman bahaya krisis moral.
Alhasil perkawinan sama sekali bukan kuburan kebebasan.
Perkawinan justru adalah tempat di mana kita bisa mengumbar kemerdekaan. Ber-"foya-foya". Kenapa tidak. Denang perkawinan, istri, saudara perempuan, ibu, kekasih bahkan anak, sekaligus terkumpul pada seorang wanita yang disebut istri. Itu kan namanya efisien dan efektif. dengan kata lain Ekonomis.
Perkawinan adalah tempat di mana kita menemukan teman, guru, dan sekaligus musuh dalam seorang wanita atau pun pria. Perkawinan bukan saja tempat yang memberikan kesenangan tetapi juga kesusahan. Problem dan kemudian kedewasaan. Tetapi karna itu perkawinan justru mengisi batin kita menjadi lebih dewasa lengkap dan terisi. Perkawinan adalah awal dari perjalanan kehidupan yang sesungguhnya. Di mana kita berhenti berkhayal, bermimpi dan melihat kenyataan apa adanya. Senang tidak senang, suka tidak suka, tetapi kongkret.
Perkawinan adalah lembaga penyelamatan pria maupun wanita... menurut saya lho...!!!
No comments:
Post a Comment