Venice, satu hari di musim dingin ketika seseorang dari masa lalu kembali. Kami berdua adalah teman sebaya, bahkan dulu kami pernah saling jatuh cinta.
Hari ini dia tampil dalam balutan mantel bulu palsu, skinny jeans gelap dan sepatu boots rancangan louboutins. Kulitnya pucat seolah tidak pernah terkena sinar matahari, matanya memancarkan kelembutan yang terlihat begitu anggun dan matang.
Hari ini dia tampil dalam balutan mantel bulu palsu, skinny jeans gelap dan sepatu boots rancangan louboutins. Kulitnya pucat seolah tidak pernah terkena sinar matahari, matanya memancarkan kelembutan yang terlihat begitu anggun dan matang.
Dia mengajar matematika di sebuah sekolah di suatu tempat di Alaska dan alasannya kembali ke sini adalah untuk menghadiri sebuah seminar matematika. Kami selalu makan malam bersama dan pergi ke salah satu seminar matematika-Nya, seminar tentang sesuatu yang di sebut Fermat’s Last Theorem.
"Ini tentang koneksi, bukan," bisikku padanya saat aku mencoba untuk memahami apa yang dosen katakan. Dia mengangguk.
"Bisakah kamu memberi aku penjelasan sederhana?"
Dia menggelengkan kepalanya. Tidak ada penjelasan sederhana untuk sebuah Puzzle yang telah di kerjakan beberapa pemikir matematika terbaik selama lebih dari 300 tahun.
Hari sudah menjelang malam ketika kami keluar dari gedung seminar. Di
jalanan terlihat orang-orang yang bergegas. Dari bawaannya kelihatan
bahwa mereka adalah orang kantoran. Kita terus bergerak. Dan akhirnya
menemukan sebuah cafe klasik di sudut kota, Cafe yang terletak antara dua gedung bernuansa abad pertengahan.
"Aku selalu suka kota ini,” katanya ketika kita duduk di sofa hangat, sewarna langit senja.
"Ya, aku kira kamu selalu cocok di mana pun. " sahutku, dan dia tersenyum.
"Iya, kota ini selalu penuh dengan nuansa masa lalu, keindahan setting-nya, arsitektur dan karya seni nya. Saat musim panas warna kota seperti merah karat. Penuh nostalgia."
"Aku selalu suka kota ini,” katanya ketika kita duduk di sofa hangat, sewarna langit senja.
"Ya, aku kira kamu selalu cocok di mana pun. " sahutku, dan dia tersenyum.
"Iya, kota ini selalu penuh dengan nuansa masa lalu, keindahan setting-nya, arsitektur dan karya seni nya. Saat musim panas warna kota seperti merah karat. Penuh nostalgia."
Kami begitu hanyut di antara aroma kopi dan alunan musik kental bernuansa jazz, Obrolan ringan tentang tempatnya tinggal sekarang, dan dengan wajah merona dia mengatakan bahwa dia telah jatuh cinta dengan seorang wanita di Alaska. Kurasa aliran darah mengalir cepat menjalar ke dadaku. Entah perasaan apa. Ada rasa kehilangan, mungkin juga cemburu.
Salju mulai turun ketika kami berpelukan dan mengucapkan selamat tinggal. Dia terbang kembali ke Alaska, di mana seorang wanita menunggu dan mencintainya. Pergi jauh meninggalan keluarga dan sahabat demi cinta. Aku pikir mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama, bila nanti ada yang benar-benar mecintaiku, dan aku pun mencintainya.
4 comments:
Dear my dear,
fabulous...venezia...my lovely città.
My dear Love...
Mungkin suatu hari kmu harus mengajakku kesana... ^_^
Dear my dear,
aku lebih suka kamu mengajak ku menyusuri hijaunya pematang sawah dan menikmati nasi tutug dengan jagung rebus .....
AAhhhh.. hayuuu... :D
Post a Comment