Tak ada tempat di dunia ini tanpa duka atau rasa sakit. Tak ada obat mujarab yang mampu mematikan rasa sedih. Balas dendam bukanlah obatnya. Memaafkan pun tak bisa. Aku masih menjelajahi batas itu. Maka, aku memutuskan untuk memulai kembali di sini. Di tempat ini, yang pernah menjadi tanah keputusasaan bagiku… “Ibu, aku pulang.” Ucapku lirih sambil memandang sekeliling rumah. “Sekarang aku punya nama.”
Cinta, tetaplah fokus pada jalan Karena ketika aku menatap, yang kulihat hanyalah dua jendela berkabut menuju jiwa yang hilang Dan mungkin, mungkin ini semua salahku Bahwa jalan begitu sunyi saat pulang Sayang, bolehkah aku membangun rumahku di dalam pikiranmu? Labirin yang berantakan, berkonstelasi, dan saling terkait. Namun entah bagaimana, jenis favoritku. Dan pemandangan favoritku saat ia terurai di bawah sinar bulan. Sayang, kita semakin tua. Dalam waktu kurang dari delapan bulan, kau akan membasuh noda air mata dari bahumu. Dan basah kuyup dalam alkohol dan kesombongan. Tubuh berdarah dingin yang cepat melangkah. Akan memberitahumu bagaimana cara mendapatkan garis-garismu. Dan kau akan mendengarkan sementara aku duduk di sini dengan mata berbinar. Saat garis-garis di punggungku terkelupas dan kering. Kau tidak akan mendengarkan tangisanku lagi. Dan kita akan menjadi dua potong kayu apung...