Saturday, November 26, 2011

Laundry

Aku melihatnya lagi hari ini, menjadikannya minggu ketiga secara berturut-turut kami berdua berada di Laundry pada waktu yang sama. 

Dia tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia ramping dan berambut gelap, bukan tipeku sama sekali sebenarnya, tapi ada sesuatu tentang dirinya yang menarik perhatianku. Mungkin cara dia selalu tertawa dan tampak begitu ramah terhadap semua orang di sekelilingnya. Dia begitu hidup dan bersemangat, dan itu membuat siapapun merasa nyaman berada di dekatnya. 

Sementara menunggu cucianku selesai. Sekilas aku melirik dan mendapati dia menatapku dan tersenyum. Aku bertanya-tanya sendiri. Apakah ia pernah tertarik pada seseorang seperti aku? Tentu saja tak ada jawaban untuk pertanyaanku. Kami bahkan tidak pernah saling bertegur sapa, namun aku tidak bisa mengeluarkan dia dari pikiranku sejak minggu sore pertama kami bertemu. Dia tidak seperti yang lain, biasanya aku lebih tertarik dengan orang-orang yang tenang, kurang lebih seperti diriku. Semakin aku duduk dan berpikir tentang dirinya, semakin aku ingin tau banyak hal tentangnya

Sambil menunggu pakaianku dikeringkan, aku memilih duduk di kursi dan menarik keluar bukuku. Tiba-tiba dia ada di sana, duduk di kursi sebelahku.

Dia membungkuk sedikit. "Apa yang ka
mu baca?"

Suaranya tidak tinggi atau rendah tetapi
antara lembut dan menyenangkan. Ketika dia membungkuk lebih dekat , aku bisa mencium aroma samar kelopak bunga. Di latar belakang aku bisa mendengar suara mesin berputar, pengering bergemuruh dan bahkan beberapa percakapan bernada rendah di sekitarku.

Aku menutup buku itu dan menunjukkan
sampul depannya. "Ini eh, Asisten Penyihir by Anne Patchett." Menatap sekilas wajahnya dan dalam hati mengutuk kegugupan dalam suaraku.

Dia menatap lurus ke arahku dan tersenyum mempesona. "Bagus?"

Aku tersenyum menjawab dengan tenang 'ya'.


"Sungguh? Apa yang biasanya
sering kamu baca? "

Sekarang ini
adalah pembicaraan yang membuat aku merasa lebih nyaman. "Yah, aku biasanya lebih suka fiksi ilmiah. Aku tidak begitu banyak membaca horor tapi sisanya aku suka. "

Dia memiringkan kepalanya ke samping, "Bagaimana dengan non-fiksi? Apakah
kamu pernah membaca itu?"

Aku meringis, “
Tidak, aku membaca untuk menghibur diri dan berimajinasi, jika aku menginginkan realita aku akan membaca Koran atau menonton berita di TV saja.

Dia tertawa dan aku bersumpah aku melihat matanya bersinar. "Aku pikir kau mengambarkan sesuatu yang sama percis dengan apa yang aku pikirkan."

Aku
menutup bukuku, merasa tidak berminat meneruskan. Aku memiliki dua puluh menit lagi sebelum pengering selesai dengan baju-bajuku. Tanpa melihat langsung wajahnya aku memberanikan diri bertanya. "Jadi apa pekerjaanmu?"

Dia
membetulkan letak duduknya sebelum menjawab. "Well, aku asisten editor surat kabar."

Ada sesuatu dengan wanita cerdas
dan mengerti sastra yang selalu membuatku tertarik,
tidak masalah dia Gay or Straight. Dia tampak begitu bersemangat dengan pekerjaannya. "Asisten Editor ya? Wow, itu hebat! Jadi sudah berapa lama bekerja di sana? "

"Oh, sekitar dua tahun. Aku awalnya ingin menjadi seorang wartawan, tapi kemudian
aku memutuskan ingin lebih mengontrol apa yang akan di baca. Jadi di sinilah aku, sebagai asisten Editor." Dia melambaikan tangannya di udara saat ia selesai berbicara. "Bagaimana dengan kamu, apa pekerjaanmu?"

Aku begitu asyik
melihat caranya berbicara, dan membuatku hampir tidak memperhatikan pertanyaannya. Aku berdeham, "Yah, uh, aku menjalankan sebuah toko, toko kecil di pusat kota. Kami menjual spesialis buku tua. "

Dia memiringkan kepalanya ke arahku lagi. "Sungguh
? Aku pernah ke sana beberapa kali dan aku tidak ingat pernah melihat kamu di sana. Apakah kamu baru saja mulai bekerja dalam beberapa bulan terakhir? "

Tiba-tiba
aku merasa gugup lagi. "Akan sulit melihatku di sana, karena aku bekerja pada jam tertentu. Aku hanya menggantikan karyawan yang libur atau tidak dapat bekerja untuk beberapa alasan." Aku tertawa gugup, menyadari sesuatu yang penting terlewatkan. Aku sedikit membetulkan letak dudukku dan mengulurkan tangan. "Aku kira aku harus memperkenalkan diri. Namaku Ana. "
 

"Namaku Jill. Jadi itu toko kamu? That's good." Dia meraih tanganku dan tertawa pelan. Saat itu, saat kami menatap mata satu sama lain, aku merasakan sesuatu. Kuat dan sekaligus halus. Aku bertanya-tanya apa yang dilihatnya ketika dia menatap mataku. Apakah dia hanya melihat pupil hitam dikelilingi warna biru atau apakah dia melihat sesuatu yang lebih dari itu? Apakah dia melihat pikiran dan emosiku  atau bahkan mungkin jiwaku? Kemudian dengungan mesin pengering, mengalihkan perhatian kami. Aku memelihat jam dan menyadari pakaian-pakaianku selesai di keringkan. Ketika aku melihatnya kembali, tangan kami masih saling menggenggam.

"Apakah Anda ingin ..."

"Bagaimana kalau ..."

Kami tertawa karena kami mulai berbicara pada waktu yang sama. Aku mengangguk malu-malu "Silakan."

Dia tersenyum
. "Apakah kamu mau pergi untuk minum kopi?"

Aku merasa leg
a, karena dia meminta sesuatu yang sama percis dengan yang aku pikirkan. Aku tahu aku tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. "Tentu, dengan senang hati."
Kembali melirik pengeringku. "Aku harus menyelesaikan ini terlebih dahulu. Kamu tidak keberatan menunggu?".

Sekali lagi dengan senyum. "Tidak, tidak sama sekali."

Aku setengah jalan
kearah mesin pengering ketika aku teringat sesuatu. Aku berbalik dan mendapatinya sudah menatapku. "Eh Jill, bagaiman dengan pakaian-pakaian kamu?".

Dia menatapku dan menunjuk
kearah keranjang dekat pintu. Ada sekeranjang pakaian terlipat rapi. Ketika aku menatapnya dengan bingung dia benar-benar tersipu. "Aku selesai tepat sebelum aku duduk dan berbicara dengan kamu." Kami saling memandang dan aku mengerti.

Setelah
aku selesai dengan cuciku dan berjalan menuju kendaraan kami masing-masing, dia menghampiriku di pintu mobil. "Bagaimana kalo di Bean Café?" Ketika aku mengangguk, dia melanjutkan, "Kamu mau mengikuti mobilku ke sana?".

Aku menatap mata hijau yang jelas dan tahu bahwa aku
tertarik padanya. "Tentu, kamu memimpin dan aku akan mengikutimu dari belakang." Dia tersenyum dan berbalik, namun dengan cepat berbalik lagi dan melangkah mendekat.

Ketika
aku menatap matanya lagi aku melihat sesuatu yang baru dan aku tahu hal yang sama bersinar di mataku sendiri. Aku melihat ketertarikan yang sama. Perlahan dia mendekat sampai ujung jari kami bersentuhan. Dia tersenyum tenang. "Aku  akan melihat kamu dalam beberapa menit lagi khan?"

Aku hanya tersenyum. "Kau memimpin dan aku akan mengikuti." Dan itulah akhir dari awal kami.

Friday, November 25, 2011

Café Girl

Aku duduk di sofa nyaman yang terletak di sudut café. Berpura-pura menyibukan diri dengan membaca buku. Namun dalam kenyataannya, aku menatapnya. Dia duduk hanya beberapa meter dariku, di sofa yang tepat menghadap jendela.

Beberapa orang mengatakan: "Dia terlihat seperti malaikat." Atau, sesuatu seperti itu. Tapi, ketika melihatnya, aku melihat api. Dia memiliki rambut merah panjang yang tergerai di bahunya. Aku rasa, aku belum pernah melihat dia dengan ekor kuda sebelumnya. Meski aku yakin gaya rambut yang lain akan tetap terlihat bagus pada dirinya. Matanya sebagian besar tertutup dengan eye shadow gelap, tapi warna ini justru membuat mata birunya terlihat lebih indah. Bersinar seperti bulan di malam hari. Dia tidak pernah memakai lipstik dan dia tidak membutuhkannya, bibirnya merah alami, terlihat begitu menggoda. 

Siapa namanya? Untuk waktu yang cukup lama, aku hanya menatapnya dan berpikir: Apa nama yang cocok untuknya? Nancy? Nicky? Laura? Atau mungkin Monique? Sampai suatu hari aku mendengar teman-temannya memanggilnya Jackie. Aku kira namanya Jacqueline. Nama ini dengan tepat menggambarkan kecantikannya yang sempurna. 

Karena nama ini, aku tidak bisa tidur di malam hari. Aku berbaring di tempat tidurku dan ketika memejamkan mata, aku melihat wajahnya, mata birunya, senyumnya. Dia dalam mimpiku, hanya di sana, aku benar-benar bahagia. Hanya ada dia mencintaiku, dia membutuhkan aku, dia menciumku. Hanya di dalam mimpi, dia milikku. Hanya ada aku dan dia. Tanpa teman berisik nya, tanpa masalah kita, tanpa seluruh dunia. Hanya kami berdua. Kadang-kadang kita menari. Aku memeluknya dan menghirup aroma tubuhnya. Aroma kulit lembut. Dan hanya dalam mimpiku, aku bisa menyentuhnya. Dan kulitnya terasa seperti bunga pada ujung jariku. Begitu lembut dan indah. Sayang bahwa itu semua hanya mimpi. Kadang-kadang ketika perasaanku tak tertahankan, aku ingin melupakan semua ketakutanku dan pergi menghampirinya, mengatakan padanya apa yang aku rasakan, mengajaknya berkencan.

Kemudian aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Beberapa langkah jarakku darinya,  dia memperhatikanku, sepertinya dia sudah tahu aku akan mengatakan sesuatu. Itu membuatku semakin gugup, dan membuat langkahku pun melambat bahkan terlalu lambat. Seorang pelayan cafe mengalihkan pandangannya dariku, dia lupa aku. Dan aku tau, bahwa aku kehilangan kesempatan berbicara dengannya kali ini. Hal seperti ini sering terjadi, tapi aku yakin - suatu hari nanti aku akan memiliki cukup keberanian dan aku benar-benar akan berbicara dengannya dan menceritakan apa yang aku rasakan. 

Aku sering bertanya pada diri sendiri: apakah dia tahu siapa aku? Apakah dia tahu namaku? Apakah dia mengenali aku ketika kita kebetulan naik di bus yang sama? Apa yang dia pikirkan tentang aku? Apakah dia seperti aku? Atau mungkin dia membenciku? Mungkin dia sudah tahu apa yang aku rasakan padanya dan dia mengira aku menjijikkan? Aku tidak berpikir aku akan pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, tapi mungkin lebih baik begitu. Aku masih menatapnya. Sekarang dia menyalakan sebatang rokok. Bahkan ketika dia merokok dia tampak begitu cantik. Aku ingin tahu apa hobinya? Mungkin dia suka menari? Dia memiliki sosok yang sempurna untuk itu. Atau mungkin dia suka melukis? Sepertiku. Mungkin dia suka menggambar orang dengan wajah yang berbeda? Atau mungkin dia suka menyanyi? Aku yakin dia punya seribu talenta yang aku tidak tahu. 

Dia memalingkan wajahnya ke arahku dan sekarang dia menatapku juga. Dia melakukan itu karena dia bisa merasakan tatapan mataku di wajahnya. Dia menatapku seolah-olah dia bisa mendengar pikiranku. Aku berharap bisa mengambil gambar dia sekarang, jadi aku selamanya bisa tetap melihat kecantikan seperti ini dan tidak pernah melupakannya. Aku masih menatapnya dan dia tersenyum. Dia tersenyum padaku. Ini adalah pertama kalinya, seolah mengatakan: "Saya tahu, saya tahu segalanya..." Memberiku lebih banyak keberanian dan aku berdiri, mengambil buku-bukuku dan berjalan ke arahnya. Tapi apa yang akan aku katakan padanya? Haruskah aku langsung menceritakan apa yang aku rasakan? Sekarang aku begitu dekat dan dia masih menatapku. Dia tahu sekarang bahwa aku datang mendekatinya dan di matanya aku melihat kebingungan. Aku pikir aku tahu apa yang dia pikirkan: "Mengapa gadis ini menghampiriku, aku bahkan tidak kenal dia?." Atau sesuatu seperti itu. 

Aku sudah membuka mulut tapi urung mengatakan apa-apa, karena di belakangnya, ada perempuan lain. Tangan menutupi matanya dan dia tertawa. Tertawa penuh kebahagiaan dan berbalik melihatnya. Lalu dia memeluknya, mencium dan mengatakan bahwa dia mencintainya. Aku bahkan tidak berhenti berjalan, aku lurus melewatinya. Ini bukan untuk pertama kalinya, tapi aku merasa begitu buruk. Ingin menangis, tapi aku hanya menyeka poni dari mataku dan berjalan ke arah pintu keluar. Aku tahu, aku tidak akan pernah bersamanya. Dia tidak akan pernah memelukku atau menciumku, atau mengatakan bahwa dia mencintaiku, karena dia mencintainya. Tetapi aku tidak perduli, aku masih akan terus memikirkan dia. Karena dia adalah yang pertama bagiku.

Wednesday, November 16, 2011

Palung Kerinduan


Dan di palung kerinduan, mataku nanar kehilangan jarak pandang. Ini tak mungkin diteruskan. Entas dari ini, atau mati tenggelam.

Degup di Dadamu


Aku ingin diam di dadamu, mendengar degup yang berbisik: "Janganlah kau menepi sebelum kita terikat dalam satu janji". Senandung yang selalu kau nyanyikan dalam diam, perlahan, pelan. Sesungguhnya aku mendengar dalam hingar kerinduan.

Halloween Night

My Dear
Malam ini Halloween Night, cuaca agak sedikit cerah dan hangat. Setelah seharian berada di ruang pengap perpustakaan dengan monitor 10 inch ku, mata terasa lelah dan pungungku pun terasa sakit. Ku putuskan untuk keluar sambil melihat Halloween Party di Centrum. 
Sepanjang jalan aku berpapasan dengan keluarga yang membawa anak-anak dengan mengenakan kostum seram. Semakin mendekati pusat kota semakin sering aku menjumpai pemandangan tadi. Kali ini bukan hanya anak-anak saja yang mengenakan kostum Halloween, melainkan seluruh keluarganya. Kompak berseram ria, dengan membawa keranjang permen dan mengetuk setiap pintu yang mereka lewati. 
Aku seperti biasa, selalu menyukai duduk disebuah Bar terbuka dengan secangkir Cappucino dan menikmati pemusik jalanan yang bermain tepat di depan café. Pemusik satu ini keren, aku rasa dia memainkan alat musik sejenis Siter kalo di Jawa tapi yang ini aku rasa mereka berasal dari Iran. Lain hari ketika aku kebetulan lewat aku liat dia memainkan sebuah mini harpa. 
Alunan musik yang dimainkan seakan mengerti benar suasana hatiku, alunan melodi yang menghanyutkan seakan iramannya me-sugesti diri untuk Larut melebur. Tanpa sadar aku sedikit menggeser kursiku mendekat. Aku mengamati sambil mengingat-ingat nama alat musik yang dia mainkan, rasanya aku pernah membacanya entah di mana. 
Waktu menunjukan jam 11 dan aku rasa udara hangat berangsur-angsur membeku. Sang musisi pun bersiap mengemasi peralatannya. Aku sempatkan untuk memberikan penghargaan atas permainan musiknya malam ini, dan bergegas pulang sendiri kembali menyusuri jalan yang penuh dengan daun dan angin musim gugur yang menusuk.

Tuesday, November 15, 2011

Satu Hari Di Musim Dingin

Venice, satu hari di musim dingin ketika seseorang dari masa lalu kembali. Kami berdua adalah teman sebaya, bahkan dulu kami pernah saling jatuh cinta. 
Hari ini dia tampil dalam balutan mantel bulu palsu, skinny jeans gelap dan sepatu boots rancangan louboutins. Kulitnya pucat seolah tidak pernah terkena sinar matahari, matanya memancarkan kelembutan yang terlihat begitu anggun dan matang.
Dia mengajar matematika di sebuah sekolah di suatu tempat di Alaska dan alasannya kembali ke sini adalah untuk menghadiri sebuah seminar matematika. Kami selalu makan malam bersama dan pergi ke salah satu seminar matematika-Nya, seminar tentang sesuatu yang di sebut Fermat’s Last Theorem. 
"Ini tentang koneksi, bukan," bisikku padanya saat aku mencoba untuk memahami apa yang dosen katakan. Dia mengangguk. 
"Bisakah kamu memberi aku penjelasan sederhana?" Dia menggelengkan kepalanya. Tidak ada penjelasan sederhana untuk sebuah Puzzle yang telah di kerjakan beberapa pemikir matematika terbaik selama lebih dari 300 tahun. 
Hari sudah menjelang malam ketika kami keluar dari gedung seminar. Di jalanan terlihat orang-orang yang bergegas. Dari bawaannya kelihatan bahwa mereka adalah orang kantoran. Kita terus bergerak. Dan akhirnya menemukan sebuah cafe klasik di sudut kota, Cafe yang terletak antara dua gedung bernuansa abad pertengahan.
"Aku selalu suka kota ini,” katanya ketika kita duduk di sofa hangat, sewarna langit senja.
"Ya, aku kira kamu selalu cocok di mana pun. " sahutku, dan dia tersenyum.
"Iya, kota ini selalu penuh dengan nuansa masa lalu, keindahan setting-nya, arsitektur dan karya seni nya. Saat musim panas warna kota seperti merah karat. Penuh nostalgia."
Kami begitu hanyut di antara aroma kopi dan alunan musik kental bernuansa jazz, Obrolan ringan tentang tempatnya tinggal sekarang, dan dengan wajah merona dia mengatakan bahwa dia telah jatuh cinta dengan seorang wanita di Alaska.  Kurasa aliran darah mengalir cepat menjalar ke dadaku. Entah perasaan apa. Ada rasa kehilangan, mungkin juga cemburu.
Salju mulai turun ketika kami berpelukan dan mengucapkan selamat tinggal. Dia terbang kembali ke Alaska, di mana seorang wanita menunggu dan mencintainya. Pergi jauh meninggalan keluarga dan sahabat demi cinta. Aku pikir mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama, bila nanti ada yang benar-benar mecintaiku, dan aku pun mencintainya.

Friday, November 11, 2011

Pictures of the month


Sexy Pictures of  Love about the hot and passionate moments, the sexy encounters, the longing and yearning for love, the cuddles and the romances , all explained in beautiful and sexy Pictures. Pictures about desiring each other and making love.

Thursday, November 10, 2011

Perempuan Yang Jatuh Cinta


“Lihat!.” Malam menunjuk ke arah gadis yang berdiri di ambang jendela...
Senja penasaran, ikut memerhatikan.
"Apa yang harus aku lakukan...? Ya tuhan apa yang harus aku lakukan...?." Lirih gadis itu berulang.
“Siapa dia?” Senja bertanya.
Senyum terkulum, “Hanya perempuan yang jatuh cinta." katanya. Sementara gadis di jendela masih tetap sama. Berdiri dalam resah, berdoa, bertanya.
"Hanya?", Mata bereka bersitatap. Ada secuil kekecewaan.
"Dia perempuan yang jatuh cinta. "
"Apakah jatuh cinta itu sakit, dia tidak terlihat bahagia?" Mata Senja menyipit.
"Dia jatuh cinta pada sesuatu yang tak bisa dia miliki. Dia jatuh cinta pada Pagi." Malam berhenti sampai di sini. Seakan mencari-cari kata yang tepat untuk melanjutkan kisahnya.
"Lalu?", Senja selalu tak sabar.
"Seperti yang kamu tau, tak ada yang bisa mengekalkan Pagi. Dia selalu mengecup dalam diam kemudian hilang. Begitu selalu, datang ketika selaksa warna merah merekah di ufuk timur dan pergi saat mentari semakin tinggi. Dia tidak perduli betapa si gadis begitu rindu menunggu." Malam menghela napas, menatap selembar daun melayang kemudian sentuh tanah.
"Dia tahu, Pagi tak ditakdirkan menjadi miliknya. Kini setiap malam, saat matahari bergerak pelan menyentuh bumi. Gadis ini berdoa. Meminta, dia tidak ingin lagi jatuh cinta."
Malam diam, kata-katanya menjelma gerimis berbisik seperti tangis.
"Bolehkah kita jatuh cinta?" Senja bertanya, tak ada jawaban. Langit semakin kelam, hitam sewarna malam.

Wednesday, November 9, 2011

Sendiri




Klo ada yang tanya apa yang mau sekali aku lakukan saat ini, aku akan jawab,


"Aku mau meninggalkan dan membiarkan diriku sendiri sementara."

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...