Sunday, May 10, 2009

Pasupati

“Coba lihat,” teriakanmu seketika memisahkan kepalaku dari lamunan yang tengah aku ciptakan bersama jendela dan atap bangunan menjulang yang nyaris sejajar dengan tinggi kita, “ bulannya sangat indah.”
Kuikuti arah telunjukmu, menatap sesuatu yang kau sebut indah itu. Jujur, aku lebih suka bulan sabit, jauh lebih cantik.
“Kau bayangkan, seandainya malam benar-benar menelan alam dengan hitam…” Oh, aku tahu sesuatu yang lebih pasti. Ielah suaramu yang hilang ditelan bebunyian kendaraan yang berlalu-lalang di belakang kita.
Bagaimanapun, kita tidak sedang berada di kafe temaram atau longue yang sangat nyaman. Kau tahu, aku sempat frustrasi saat pertama kali kau mengajakku ke tempat ini.
Dalam mimpi sekalipun, aku tak pernah berani memikirkan diriku duduk pada pembatas sisi jalan layang sambil berbincang dengan seseorang atau hanya sekadar menikmati malam. Terlalu berbahaya untukku.
“Kebisingan dan sedikit ketegangan di sini akan memberimu kedamaian dalam bentuk lain,” meski kutahu kau hanya berusaha mengatasi ketakutanku waktu itu, “percayalah.” Ya, aku percaya, bersamamu segalanya akan baik-baik saja.
Rasa percaya diriku kian bertambah ketika kulihat sepasang sejoli duduk mesra di atas sepeda motor yang ditepikan beberapa meter dari keberadaan kita, bahkan juga beberapa meter dari keberadaan mereka. Tiba-tiba aku teringat perkataan temanku tentang jalan layang yang menghubungkan Pasteur – Surapati ini.

“Di sini tempat orang pacaran kan?” pertanyaanku terdengar sangat norak di telingaku sendiri.

“Apa?” kau berteriak sambil mencondongkan telingamu ke mulutku.

Oh, terima kasih, Makhluk-makhluk beroda yang mendesau bising. Lain kali aku akan berusaha lebih baik lagi dalam membuat pertanyaan. Dan aku perlu sedikit penyesuaian teknik vokal untuk dapat memproduksi suara yang baik saat berbincang—tepatnya berteriak.

Tetapi, ada saatnya kita tidak harus berteriak. Kau memberitahu, “Pertama, ketika jalanan lengang; kedua, ketika jalanan ramai dan kita hanya perlu berbicara tanpa ingin didengar siapa pun namun tetap mendambakan keberadaan seseorang di samping kita.” Terima kasih, kau berhasil membuatku bingung untuk yang kedua itu.

“Ayolah, kau pasti lelah menulis diary, dan merasa semakin gila setiap berbicara dengan dirimu sendiri di depan cermin,” paparmu sebelum akhirnya kau mendemonstrasikan metode yang lebih baik dari kedua hal itu.

Kau menoleh, memastikan sekelompok kendaraan lewat secara bersamaan. Kemudian kau berkata-kata seolah aku mendengarnya. Aku hanya memandangi wajah dan gerakan bibirmu yang ajaibnya berbunyi WHUZZZ, BRMMM, NGEEENG, TIDIIID atau bahkan BLAR!!!

“Ah, lega,” ucapmu setelah selesai. Aku mulai paham, lalu berkesimpulan: inti dari metode yang kau maksudkan adalah mengungkapkan sesuatu yang kau anggap sangat pribadi dan rahasia kepada seseorang tanpa perlu kehilangan arti kerahasiaannya. Menarik. Hei, ternyata tidak semua pasangan yang datang ke tempat ini hanya untuk berpacaran.

“Sekarang giliranmu,” kau menantangku.

Aku? Ah, orang bodoh sepertiku bukanlah penganut spontanisme yang baik. Pada malam-malam berikutnya, aku baru menemukan banyak materi rahasia yang selama ini hanya bergaung double stereo di ruang kedap suara dalam dadaku saja. Dari mulai masalah perceraian kedua orang tuaku, adikku yang menderita syndroma down, pengalaman seksual pertamaku yang mengerikan, kebohongan kecil dan besar yang pernah kubuat, hal-hal paling konyol dan memalukan yang pernah kulakukan, hingga penyakit-penyakit menjijikan yang sempat menyerang daerah paling sensitif di tubuhku. Wow, tak kusangka aku se-ekstrovert itu.

“Kau tahu, hanya ketika bersamamu aku merasa menjadi seseorang yang berbeda dalam versi aku yang sebenarnya. Maksudku, kaulah yang membantuku menemukan sisi yang lebih aku dari diriku sendiri.”

Pada malam kesekian itu, kau menatapku dengan ekspresi sedikit bingung saat mendengar sepenggal pengakuanku. Volume suaraku mengecil karena bising kendaraan kembali hadir.

“Biasanya, ketika kita jatuh cinta, kita jusrtru merasa gamang dengan diri kita sendiri,” dan suaraku benar-benar menghilang ketika kukatakan, “tetapi, jatuh cinta padamu sangat berbeda; begitu sederhana namun istimewa.”

Sekali lagi aku berterima kasih pada makhluk beroda di belakang kita. Betapapun aku belum siap dengan reaksimu ketika mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

Dari sekian keuntungan yang kudapatkan, ada masanya di mana aku merasa dirugikan bising kendaraan itu. Ialah ketika aku ingin benar-benar mendengar apa yang tengah kau ucapkan. Siapa tahu kita memendam perasaan yang sama, mengucapkan kata-kata yang bermakna serupa: aku jatuh cinta padamu.

Kau tahu, aku selalu mendamba kemampuan infrasonic setiap kau berbicara tanpa suara. Menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu hanya hiburan pengganti atas keingintahuanku akan banyak hal tentang dirimu. Dan kurasa, mengetahui hobi, makanan dan musik favoritmu, juga hal-hal yang tidak kausukai, sudah lebih dari cukup untuk status kita yang tak lebih dari sepasang kenalan yang dipertemukan sebuah situs pertemanan. Kau pernah bilang, “aku tidak suka diselidiki”. Baiklah, kuikuti permainanmu. Dan lama-lama aku justru melupakan keinginan itu karena ternyata menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu jauh lebih menyenangkan.

Dan malam ini, aku terbuai dengan ekspresi riang wajahmu dan gerakan mulutmu yang berkali-kali membentuk kata “bulan”. Seluruh potensi inderaku selalu tertuju penuh padamu tatkala itu. Sesekali kau menatapku, lalu kembali menatap langit dalam waktu yang lebih lama. Sejauh ini aku berhasil berpura-pura tidak sedang memandangimu hingga, “… bagaimana menurutmu?”

Serta-merta kau alihkan pandanganmu secara tak terduga, menangkap-basah aku yang tengah khusyuk memandangimu. Mata kita saling memerangkap. Dan ada mesiu tak nampak yang menembus ke dalam jantungku. Aku beku dan nyaris tak berdetak lagi jika napasmu tak lekas kau tiupkan lewat kecupan yang hangat dan dalam.

Oh, aku meledak dalam rasa canggung sekaligus senang yang luar biasa. Persetan dengan apa pun. Persetan dengan siapa pun. Malam ini menjadi milik kita berdua. Sayup kudengar bunyi klakson, desau mesin kendaraan, dan decit ban di belakang, lalu menghilang seiring deru napas kita yang saling memburu kencang. Dinginnya angin malam yang menusuk berhasil kau halau. Kita tidak hanya sekadar berada pada ketinggian yang liar, melainkan benar-benar MELAYANG. Baru saja aku tahu jawabannya. Semoga aku tidak salah.

“Kau tahu, ini ciuman terindah dalam hidupku.” Aku tak percaya telah mengucapkannya dan kau benar-benar mendengarnya.

Tersipu, aku membalik tubuhku dan turun ke jalan menuju sepeda motormu, kemudian menutup wajahku dengan helm full-face milikmu. Aku sungguh merah. Oh, mimpi apa aku kemarin malam. Dan semoga malam ini aku tidak sedang bermimpi lagi.

Sejujurnya aku tak ingin perjalanan kita berakhir. Aku masih ingin duduk menatap langit di pembatas jalan layang—jembatan Pasupati. Aku masih ingin memeluk punggungmu dan menemanimu menyelinap di antara celah kendaraan di depan kita. Aku masih ingin merasakan ketegangan yang luar biasa saat sepeda motormu meluncur gila pada permukaan aspal yang dingin. Aku masih ingin bersamamu tanpa batas waktu.

“Sudah sampai, Tuan Puteri,” kau merajuk saat sepeda motormu berhenti di depan pagar rumahku. “Hei, aku tahu kau tidak benar-benar tidur. Turun dan masuklah.”

Andai kau tahu bahwa aku takut kehilanganmu.

“Kau tidak perduli kalau aku terus berdiri sampai pagi di depan rumahku sendiri?” Hei, sejak kapan aku bersikap manja padamu?

“Hm, baiklah.”

Kau membuka helm kemudian menemaniku menekan bel dan menunggu si Bibi membukakan pintu. Cukup lama, sepertinya seisi penghuni rumah sudah terlelap. Dan saat menunggu itulah kau membisikkan tiga-kata-itu sebelum menciumku lagi.

“Eh, si Eneng baru pulang?”

Oh, syukurlah kita sudah saling melepaskan saat si Bibi membukakan pintu.

“Masuk atuh, Neng, nggak baik kalau kelihatan tetangga.”

“Aku pulang dulu ya,” kau pun berpamitan.

“Wah, tunggu,” tahan si Bibi. “Nggak baik lho, anak perempuan naik motor tengah malam.”

“Ah, Bi, jangan khawatir. Temanku yang satu ini sudah ahlinya kalau soal naik motor. Cowok-cowok saja kalah ngebut.” Aku tersenyum bangga padamu. Dan kau membalasnya dengan anggukan canggung.

“Tapi ini kan sudah pagi, Neng. Apa tidak sebaiknya temen Eneng tidur di sini saja?”

Tidur di sini? Hm, ide bagus. Kurasa, kau pun sependapat denganku.


Sumber Tulisan : Kemudian.com

Parfume Movie

Aku telah membaca novel Parfum beberapa tahun ke belakang dan filmnya tahun lalu. Sekalipun dah agak lama rasanya gak terlalu basi kalo aku ceritain dikit tentang film ini. Mungkin kamu berpikir bahwa dari sebuah parfume kamu tidak akan bisa menghubungkannya dengan film. Salah satu alasannya adalah bahwa keduanya memberikan semacam dua sensasi yang berbeda. Parfum adalah sensasi yang berbau. Film adalah sensasi yang didengar dan visual - gambar dan suara. Hampir mustahil menghubungkan kedua pengalaman indrawi dapat disatukan.Film ini bercerita tentang seorang anak Jean-Baptiste Grenouille (Ben Whishaw), seorang anak laki-laki yang lahir dengan pencium rasa yang sangat tajam dan menjadi terobsesi berbagai macam bau, berlatar abad 18. bertempat di Paris. Lahir di kota yang penuh belatung-pasar ikan, Grenouille yang ditinggalkan oleh ibunya di tempat pembuangan ikan yg berbau busuk, gak jelas siapa ayahnya dan seorang ibu yang bekerja sebagai pembersih ikan (film ini tidak terlalu banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya). Dimasukan ke sebuah panti asuhan Dickensian, dia di asingkan oleh anak-anak lain. Dijual ke tempat penyamakan kulit.
Kemudian dia bertemu dengan seorang ahli pembuat wangi-wangian Italia Giuseppe Baldini (Dustin Hoffman), yang terkesan dengan keahlian yang dimiliki Grenouille dalam menemukan wangi-wangian secara alami. Bekerja di tempat tersebut semakin membuat Grenouille benar-benar terobsesi dengan berbagai macam wangi, ia menjadi tergila-gila dengan membuat parfum yang sempurna sehingga ia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Grasse, kota yang penuh dengan berbagai hal yang sempurna dan indah yaitu sari perempuan muda. Di kota ini dia mulai mecari berbagai macam wangi yang di ambil dari berbagai macam perempuan, dengan cara membunuh perempuan-perempuan tersebut terlebih dahulu. Kejadian itu membuat kota gempar dan mencekam dengan rangkaian pembunuhan-pembunuhan misterius tersebut. Tetapi tetap saja pencarian atas parfume yang sempurna masih saja ada satu yang kurang. Sampai dia bertemu dengan Laura (Rachel Hurd-Wood), anak perempuan Antoine Richis (Alan Rickman).
Grenouille akhirnya tertangkap basah dan diketahui sebagai pembunuh dari 13 perempuan. Diberbagai tempat diteriakan untuk melindungi anak perempuan mereka, sampai Antoine Richis (Alan Rickman).mengasingkan anak perempuannya di tempat yang sangat terpencil.
Dengan bebekal pemciumannya yang tajam Grenouille akhirnya tetap saja dapaat menemukan Laura (Rachel Hurd-Wood). Dan mengambil sari dari perempuan tersebut sebagai formula terakhir untuk menyelesaikan karyanya yang mengerikan. dan saat itu pun dia tertangkap dan dijebloskan ke penjara untuk diadili sesegera mungkin.
Parfum yang mewah, terkadang mengerikan, bahkan dengan menciumnya sampah dan penyakit yang paling busukpun akan terlihat indah, dia gunakan parfume itu untuk melepaskan diri dan kembali kekota kelahirannya. Disana akhirnya dia tewas menjadi santapan orang-orang yang haus akan wangi dan keindahan.
I have to say, I liked it... For sure, walau pun sebenarnya filmnya tidak sebaik bukunya.
Di satu sisi sulit untuk memvisualisasikan bau dan di sisi lain tidak semuanya dapat ditampilkan selama film.
Tetapi bagi aku, film ini memang bagus... cukup bagus. Dan permainan aktornya pun sangat bagus Mereka memainkan peran mereka benar-benar baik dan sesuai dengan Grenouille, saya benar-benar berpikir bahwa dia adalah Grenouille yang dijelaskan dalam buku tersebut.
Satu-satunya hal "negatif" yang saya dapat katakan tentang itu, adalah bahwa di dalam buku dia digambarkan sebagai orang jelek, tetapi Ben Wishow tidak jelek. Tetapi bagi saya, yang tidak benar-benar peduli. Jadi, semuanya harus saya katakan, bahwa film ini tidak sebaik buku (yang kebanyakan kasus), tetapi meskipun saya berpikir bahwa ini adalah film yang dibuat benar-benar baik.

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...