Friday, May 18, 2012

Stranger III

Aku bergegas pulang, mencuci rambut, mengenakan baju merah dan mencari celana hitam namun tidak berhasil menemukannya di mana pun. Sialan! Di mana aku meletakannya? Tak ada waktu lagi aku memutuskan untuk mengenakan rok hitam. Tersenyum pada diriku sendiri saat berdiri di depan cermin, stoking hitam dan sedikit make-up.

Melirik jam, baru sadar sudah jam 18:45. Seharusnya sudah berangkat. Aku memutuskan untuk berjalan ke bar karena cukup dekat, hanya beberapa blok dari tempat tinggalku. Aku mungkin akan memesan minum untuk membuatku sedikit lebih santai dan menunggu Ris.

Sesampainya di bar tepat pukul 07:00, aku disambut Sue di depan counter. Aku memesan anggur putih, melirik sekeliling, satu kelompok orang di sebelah bawah bar, beberapa orang di salah satu stand dan beberapa anak perempuan di sudut agak gelap. Ada lagi sekelompok perempuan di ruang sebelah kolam renang tapi mereka semua memakai pakaian hitam atau t-shirt putih.

Duduk menunggu, senang bahwa Sue sedikit sibuk karena aku sedang tidak ingin banyak bicara. Aku ingin mengamati pintu masuk, tanpa terlihat terlalu jelas, jadi aku duduk di samping meja, melirik pintu setiap kali terbuka.

Sedikit ramai dengan aliran orang yang datang. Sebagian besar pendatang baru, laki-laki dan aku lega melihat bahwa beberapa bilik masih kosong. Akhirnya pintu terbuka dan aku melihat kemeja ungu dan jeans biru, seorang perempuan berjalan masuk. Aku tidak dapat menahan hatiku sedikit terenyah  melihat tampilan maskulinnya, tinggi, rambut pendek, tato terlihat di lengan atasnya dan aku melihat lurus ke arah wajahnya. 

“Kenapa kau tidak membiarkan dia memberitahu bagaimana rupanya? " aku memarahi diriku sendiri, terlambat.

Aku tersenyum menyambutnya dan matanya berbinar saat ia melenggang ke arahku. "Well, dia terlihat cukup senang." Pikirku dengan cara yang sedikit tidak puas.

"Hai. Aku sudah menunggumu," Aku berusaha menjaga senyuman senormal mungkin. "Kamu ingin minum apa?" Dia sedikit terkejut, sebelum dia duduk di kursi sebelahku.

"Bisa VB, terima kasih, sayang." Katanya kepada Sue yang tau-tau sudah ada di depan kami. Aku terkejut, aku pikir Ris menyukai anggur. Sebelum aku bisa berkomentar, pintu terbuka dan aku melirik ke samping, rasannya menjadi kebiasaan. Aku terkejut melihat Pat masuk dan berdiri persis di pintu. Cahaya remang-remang tapi aku mengenalinya, kemeja hijau itu warna ideal untuk rambutnya.

Aku sadar dia tidak bisa melihat wajahku karena cahaya dari bar di belakang kepala ku. Tapi dia melihat Ris dan aku dari atas ke bawah, dan sedikit lebih lama mengamati rok mini yang aku kenakan.

 “Aha! She’s a leg person.” Pikirku sambil tersenyum.

Matanya beralih dari kami, saat ia melihat sekeliling. “Ada janji dengan seseorang." aku menduga dan tiba-tiba merasa cemburu dengan wanita yang sedang dia cari.

Aku berbalik kembali ke Ris dan berharap bahwa aku hanya sedang berimajinasi melihat  lirik an penuh harapan di wajahnya.

"Jadi. Kamu sedang Menungguku sayang?" dia berkata dengan lirik yang pasti dan aku menghela napas lega, mengetahui sekarang bahwa ini bukan Ris. Aku tahu bahwa telepon dapat menyamarkan suara, tapi suara dan terutama kata-kata yang biasa digunakan terlalu berbeda dari Ris.

"Aku pikir, aku harus meminta maaf." aku memulai sopan "Aku benar-benar hendak bertemu dengan seseorang untuk pertama kalinya malam ini dan ia mengenakan atasan ungu. Jelas aku telah melakukan kesalahan."

"Kenapa! Siapa nama dia?" Bertanya dengan nada sedikit agresif.
 
"Kenapa? Siapa nama kamu?" Aku bertanya. Dia ragu-ragu tetapi sadar dia tidak memiliki harapan menyebutkan nama yang benar, jadi dia bilang namanya Ricky.

"Well, it was nice to meet you Ricky, tapi aku lebih baik terus mencarinya sekarang." Aku berbalik dan bejalan sampai samping pintu. Aku tahu Ricky sedikit enggan pergi, tetapi setelah ragu-ragu sedikit, dia melangkah pergi ke ruang biliar. Aku mendesah lega sekali lagi tapi aku juga merasa ketakutan, karena aku bertanya-tanya apakah Ris nyata.

Posisiku sekarang memberiku keleluasaan melihat tempat Pat yang berada lebih bawah dari bar dan Aku melihatnya mengangkat gelas dan menyesap minumannya. Dia sedikit menegang seolah-olah sadar sedang diawasi. Dia menoleh, tajam dan aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya karena dia sadar siapa aku. Aku melihat kesenangan diganti kejutan dan dia tersenyum dan mengangguk. Aku melihat sekilas di sekitar bar dan melirik pintu, membenarkan dugaanku bahwa dia menunggu seorang teman atau lebih mungkin, kekasih. Aku tidak merasakan kepuasan mengetahui aku sudah benar dalam anggapan terakhirku bahwa dia gay. Aku hanya merasa sedikit penyesalan kesempatan yang hilang.

Sue menuangkan minuman untuk ku lagi dan kami mengobrol sebentar, basa basi sedikit  untuk menghilangkan rasa frustrasi dan kekecewaanku setiap kali melihat pintu dibuka. Aku melihat Pat masih duduk sendiri dan sering melirik pintu masuk. Kencannya juga belum tiba.

Aku harus pergi ke kamar mandi, jadi aku meminta Sue untuk melihat siapa saja yang memasuki bar dengan mengenakan atasan ungu. Aku mencuci tanganku ketika Pat berjalan masuk.

"Kencannya tidak juga muncul?" aku membuka percakapan.

"Tidak." jawabnya, ada nada khawatir dalam suaranya "Aku tahu dia dengan cukup baik dan aku tahu dia tidak mungkin tidak muncul." Aku merasakan ada rasa nyeri pada saat dia berbicara tentang pasangan yang jelas dicintainya. Aku mencoba untuk menutupinya dengan mengatakan bahwa aku juga khawatir tentang penampilan non-kencanku.

Aku kembali ke bar dan menerima gelengan kepala dari Sue. Ketika Pat kembali, dia mengambil gelas dan minta untuk bergabung dengan ku

"Kita mungkin bisa  ngobrol sementara kita menunggu," dan, setelah menerima senyum dan anggukan, dia menarik kursi dan duduk di atasnya, sedikit menyenggol lututku saat melakukannya. Hampir seperti sengatan listrik, aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tidak memperhatikannya tapi, ketika aku melihat wajahnya memerah, aku tau dia menyadarinya. Mataku terus melayang pada rambut merahnya saat kita berbicara tentang hal-hal tidak penting. Kadang-kadang mempertahankan kontak mata untuk sepersekian detik lebih lama dari seharusnya.

Kami berdua berhenti melihat setiap kali pintu masuk terbuka dan aku berbicara tentang politik dalam gerakan perempuan ketika aku berhenti, benar-benar lupa apa yang barusaja aku bicarakan. Aku merasa tenggelam dalam matanya dan bibirku terbuka sedikit untuk mengakomodasi pernapasan ku lebih cepat. Dia tampaknya tidak menyadari aku akan berhenti bicara - bahkan ketika matanya turun melihat mulutku. Aku merasa diriku tertarik ke arahnya, kebutuhan dalam diriku yang luar biasa.

Bibirnya hangat seperti hembusan napas saat menyentuh bibirku. Lembut, bukan tanpa perasaan tetapi, pada saat ini, tanpa gairah. Singkat, eksplorasi kiss - selesai hampir sebelum mulai, tetapi aku merasa jejak bibirnya terbakar sendiri, mengelitik.
 
"Bisakah kita pergi ke suatu tempat yang lebih tenang?" Pat bergumam, "Aku tidak familiar dengan daerah ini."

"
Kita bisa pergi ke rumahku, cukup dekat dari sini." undangku. Dia terlihat terkejut 

“Ya... Mobilku ada di luar, apa kita memakai mobilku atau berjalan?” Hatiku berdebar dengan kegembiraan saat aku menyarankan dia untuk membawaku ke sana.

Aku mencari Sue untuk mengucapkan selamat tinggal - tapi ia tidak ada. Kami berjalan keluar dan Pat membuka pintu mobil untukku, kemudian duduk di depan kemudi. Dia baru saja menyalakan mesin ketika Sue melaju sampai di mobilnya dan parkir di sebelah mobil Pat. Dia melihatku,
 
"Off sekarang
Vee?" Tanyanya. Pat menatapku dengan heran. 

"Apakah wanita dengan atasan ungu akhirnya muncul?" aku melihat Sue melewati Pat. 

"Sayangnya tidak." Jawabku sambil menggelengkan kepala

"Sampai nanti Vee, Bye." Dengan senyum pada kami berdua. Dia berjalan kembali ke bar. Pat mematikan mesinnya dan aku menatapnya penuh Tanya.

"Vee?" Tanyanya dengan nada berbeda.

"Ya?" Aku tidak
sepenuhnya mengerti dengan pertanyaannya.

"Apakah
kamu memiliki celana hitam?" Yang membuatku semakin kebingungan
 
"Yaa... aku benar-benar harus memakainya malam ini tapi tidak bisa menemukan benda sialan itu di mana-mana. Mengapa? " Tersenyum? 
 
"
Aku memiliki masalah yang sama, tetapi dalam kasusku ini bagian atasku yang seharusnya aku kenakan malam ini, mmhh.. Yang berwarna ungu, sedikit kotor. "
 
Aku menatapnya dengan takjub, "
Ris? Tetapi Sam memanggilmu Pat
? "
 
"Ya, aku tahu.
Sam sahabat lamaku, itu adalah panggilanku waktu masih sekolah.  Dan sekarang orang-orang lebih memilih memanggilku Ris."

Kami saling memandang
tak mampu bicara. Tanganku terangkat, ragu-ragu, turun lagi. Mulutnya terbuka untuk berbicara, lalu menutupnya lagi. Kami berpaling dan kemudian kembali lagi dan mata kami bertemu dan dua perasaan yang sama sekali berbeda; cinta untuk orang yang dikenal dan daya tarik terhadap orang tak dikenal, menyatu dan menjadi satu. Aku mengangkat tangan sekali lagi dan, kali ini, aku membelai pipinya.
 
"
Ris," aku memulai - secara naluriah memanggilnya dengan nama itu,  "Aku mencintaimu, dengan sepenuh hati. Apakah kamu mau mengantarku pulang sehingga kita dapat lebih mengenal satu sama lain? "
 
"Ya..." Dia tersenyum nakal, "Sepanjang akhir pekan sudah cukup
sebagai awal kan? Aku harap kamu memiliki banyak makanan di rumah, karna aku tidak mau harus keluar dan... "




Tamat

Stranger II

Aku mencoba menghubungi Ris sore hari, sayangnya hanya mesin penjawab yang menerima panggilanku. 

"Hai, Sayang," sapaku "Hanya ingin berbicara, aku merasa ingin mendengar suaramu! Tidak perlu membalas telponku, aku akan menelepon lagi malam ini seperti biasanya. Oh dan Sayang... Aku pikir kita harus bertemu sesegera mungkin." Aku tidak merencanakan mengatakannya, tapi, setelah mengatakannya, aku senang. Mari kita selesai dengan cepat, merasakan sentuhan, bahkan bercinta. Mungkin dengan begitu aku bisa mengeluarkan wajah Pat dari pikiranku.

 Aku bermimpi malam itu tidur dalam pelukan Pat. Memandang wajahnya, melihat bibirnya mendekat saat ia menundukkan kepala perlahan-lahan menyentuh bibirku. Saat bibir kita bersentuhan, aku terbangun dengan perasaan kosong, kehilangan . Menyadari itu hanya mimpi.

Aku berbaring di tempat tidur menunggu debaran dadaku kembali normal. Apa yang terbaik untukku? Bertemu Ris dan belajar mencintai wajah dan tubuhnya, tahu bahwa aku sudah mencintai apa yang ada di dalam dirinya, kepribadian, sifat, karakter? Atau mencoba melihat apakah aku bisa mengenal Pat lebih dalam, mengetahui bahwa aku sudah sangat tertarik dengan tampilan luarnya. Dilema, bahkan logikaku mengatakan untuk tidak melakukannya. "Pergilah ke arah yang menurut Anda benar -. Pergilah pada orang yang benar-benar sudah jelas menyayangimu dan membuatmu merasa nyaman." sementara di sisi lain, suara lain mendesakku "Pergilah dengan nalurimu, berani untuk mencari tau lebih jauh tentang dia, berani mengetahui apakah kamu bisa mencintainya. "

Aku bertanya-tanya apakah terlalu dini untuk menghubungi Ris. Apakah dia mengerti keinginanku mendengar suaranya, tanpa aku harus menjelaskan? Aku tahu dia akan mengerti. Aku mengenalnya dengan baik - namun... Di telepon malam sebelumnya dia terlihat sedikit enggan dengan rencana pertemuan kami, dengan alasan jadwal yang sibuk untuk tiga atau empat malam berikutnya. 

Semalam dia menceritakan seorang teman yang mengira dirinya telah jatuh cinta dengan orang asing hanya setelah melihatnya beberapa kali. 

"Apakah menurutmu ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, kedua atau ketiga?" Dia bertanya, pertanyaan yang telak menohok ke ulu hati. Aku akan mencoba menjawab jujur.

"Aku tidak tahu tentang cinta tapi aku yakin akan dapat merasakan daya tarik yang kuat - daya tarik terhadap seseorang. Mungkin itu 'nafsu pada pandangan pertama! " lelucon terakhir tidak membuatnya tertawa seperti yang aku harapkan, dia hanya diam. 

"Ya, kurasa kau benar." Dia mengakui dengan enggan. "Ya. dia harus mengenal orang itu lebih dulu, bukan " Dia sepertinya lebih yakin dengan saran yang akan dia berikan kepada temannya. 
Aku memutuskan untuk tidak meneleponnya. Aku akan memberinya waktu sendiri. Pada jam 1 siang, aku membuat keputusan. Aku akan pergi satu kali lagi dan kemudian, begitu aku bertemu Ris, aku tidak akan mencari perempuan itu lagi. Keputusan itu membuatku bersemangat, aku berjalan cepat ke arah mobil untuk menemuinnya. 

Dia tidak ada di sana ketika aku tiba, tapi tak apa aku datang sedikit terlalu cepat. Aku memesan dan mulai makan siang, tidak mencicipinya hanya merencanakan tindakanku selanjutnya. Aku akan menyapannya dan mengundang dia untuk duduk di mejaku. Mungkin aku akan mencari cara untuk ngobrol tanpa memperlihatkan ketertarikanku padanya. Menit demi menit berlalu dengan cepat saat aku membuat rencanaku, ketika aku melihat jam, sudah setelah 14:00. Dia tidak pernah seterlambat ini sebelumnya. 

Aku memesan kopi lagi, setengah meyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar-benar menginginkannya. Aku bertekad untuk tidak duduk menunggu dan berharap tapi aku tidak juga beranjak pergi sampai hampir 2:30. "Well, itu saja. Aku tidak akan kembali. Aku akan melupakannya." akhirnya aku menyerah. 

Rasannya aku tidak ingin kembali ke kantor, jadi aku berjalan-jalan untuk sementara waktu, melihat toko-toko. Sedikit terkejut ketika aku bertabrakan dengan seseorang yang bergegas keluar melalui pintu. Seorang wanita, tetapi harus mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya dan, ketika aku melakukannya, aku sedikit mundur karena aku mendapati diriku sedang melihat wajah Pat. Dia dengan cepat meraih tanganku, mencengkeramnya mencegahku jatuh. 

"Maaf, tadi tidak melihat..." tergagap aku meminta maaf.

"Tidak, itu kesalahanku. Aku tergesa-gesa keluar dari cafe "sekilas aku melihat papan nama di belakangnya saat aku menyadari bahwa itu memang sebuah cafe. Aku merasa alisku mengangkat kaget dan ia membaca pikiranku. Mukannya sedikit memerah. 

"Ya, aku mencoba tempat baru sampai aku menyadari aku lebih memilih berada di cafe Octavia, jadi aku bergegas ke sana." Dia menjelaskan panjang lebar, seolah-olah dia benar-benar ingin membuatku mengerti. Aku bertanya-tanya apakah ia bergegas untuk melihatku tapi kemudian aku tiba-tiba berpikir dia telah menghindari cafe agar tidak melihatku, tetapi mengapa? Dan mengapa ia tampaknya berubah pikiran? 

Aku menyadari bahwa aku sedang menatap ke matanya. Ibu jarinya mulai mengusap lembut di bagian dalam pergelangan tanganku. 

"Apakah kamu baru saja dari café oktavia?" Tanyanya dengan suara yang lebih akrab dan menarik bagiku. Aku mengangguk, tak sanggup bicara karena aku bisa merasakan denyut nadiku di bawah sentuhan ibu jarinya. 

"Apakah kamu ada waktu untuk minum kopi lagi?" Tanya dia dan aku seakan teringat kilas balik secara tiba-tiba Ris pernah bertanya bercanda melalui telepon menawariku secangkir kopi yang dia buat. Rasa bersalah memukulku dengan keras dan aku melepaskan tanganku. 

"Tidak, maaf. aku harus buru-buru, "suaraku cepat, "Aku minta maaf lagi karna menabrak kamu. Oh, by the way aku mungkin tidak bisa mampir ke café lagi. Senang bertemu dengan kamu " menunduk menghindar dari kekecewaan di matanya. Aku mengambil beberapa langkah ke belakang kemudian menoleh ke belakang. Berbaur dengan kebingungan di wajahnya, aku melihat ada perasaan sedikit lega. Dan entah kenapa aku merasa terluka karenannya. 

 "Bye, Veonna" ujarnya lembut, membawa setengah kenangan; sesuatu yang akrab tapi kurang tepat. Perasaan itu memudar secepat aku berikan satu senyum singkat dan berjalan menuju mobilku. 

“Well, itu saja ... Tidak lebih Pat." Aku berusaha menemukan perasaan damai dalam pikiran, tetapi itu benar-benar tidak membantu. Kataku dalam hati sekali lagi bahwa good looks dan superficial attraction tidaklah cukup. Aku teringat Ris, aku tahu aku mencintainya dan tiba-tiba merasa sangat ingin melihatnya. Aku menyibukan diri dengan pekerjaan dan selesai dalam waktu singkat. Pada 05:00 aku menelpon Ris dan mengatakan bahwa aku ingin bertemu dengannya malam ini jika memungkinkan. Dia sedikit terkejut namun kemudian berbicara tegas. 

"Ya, sudah waktunya - ok terlambat sebenarnya." katannya.

Kami merencanakan untuk bertemu di sebuah gay bar kecil di dekat rumahku. Tempat yang cukup nyaman, ramah tetapi memiliki stand privasi. Aku mengatur pertemuan di bar sekitar pukul 07:30 dan aku bilang aku akan mengenakan kemeja merah dipadu celana hitam. 

"Baiklah. Aku akan mengenakan atasan ungu. Aku harap bajunya bersih! Aku mungkin akan mengenakan jeans hitam. Rambutku ..... " 

"Tidak! Jangan bilang apa-apa, Ris. "Selaku" Aku akan melihatmu segera. "

"Aku akan menemuimu malam ini. God… semua ini terdengar sangat aneh! Bye Vee." Suaranya lembut dan penuh janji dan hatiku berdebar cepat, 

"Oh God, aku harap dia menyukaiku, dan begitu pun aku.” Doaku setelah menutup telepon. 



Berasambung... ke Stranger III

Monday, May 14, 2012

Stranger I

"Jadi. Kapan kita ketemu, Vee? " Tanyanya lagi. Aku ragu, masih enggan memutuskan kapan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Aku tidak sepenuhnya bisa menjelaskan alasan kenapa aku masih ingin membatasi semua komunikasi kami hanya sebatas sms, chat, atau telepon, bahkan setelah sekian lama. 

"Aku sibuk, Ris. Pekerjaanku akhir-akhir ini agak sedikit banyak. Aku tahu kamu sama sibuknya seperti aku minggu ini, dan aku ingin kita benar-benar memiliki banyak waktu nanti. Kamu tidak mau kita diburu-buru waktu kan? " Bujukku. Aku tahu bahwa Ris tidak senang dengan jawaban ini, tetapi, seperti biasa, ia selalu menerimanya dengan cukup baik.

"Baiklah, bila kamu siap aku yakin waktunya memang tepat. Anyway… Aku harus buru-buru sekarang sayang. Aku ada pertemuan pukul sepuluh. Call you tonight.” 

Aku tahu aku tidak sepenuhnya adil. Dia sudah kembali tinggal di Perth selama lebih dari sebulan dan kita sudah saling berkomunikasi secara intens selama beberapa bulan sebelumnya, namun aku masih saja menghindari untuk bertemu. Kami semakin dekat melalui surat-surat, dan percakapan di telepon tetapi jika kami bertemu di jalan kami tidak akan saling menyadarinya, she’d be a perfect stranger! 

Sore yang tenang di tempat kerja, aku membiarkan diriku memikirkan masa lalu - kenangan tentang Jill. “What a beautiful couple” semua orang akan mengatakan begitu. Satu tahun setelah coming out, aku bertemu Jill dan aku baru saja mengakhiri sebuah hubungan yang tidak menyenangkan. Jill adalah seorang pesolek, dia selalu mencoba mengatur semua yang akan kita kenakan. Rambutku pirang sementara miliknya hitam, kita sama tinggi. Aku dengan postur tubuh ramping, sementara dia lebih bulat dan penuh. Jill tidak pernah benar-benar tertarik padaku, aku hanya sebagai aksesoris baginya. Aku hanya berfungsi untuk menunjang penampilan dan image-nya; dua aspek yang sangat penting dalam hidupnya. Bahkan setelah lebih dari setahun bersama, aku tidak benar-benar banyak tau tentangnya. 

Mungkin itu juga alasan mengapa aku pikir sikapku terhadap Ris benar. Aku ingin kita saling mengenal satu sama lain sebelum kami bertemu. Aku tidak ingin penampilan luarku mempengaruhinya. Aku ingin dia mengenal 'Aku' di luar bingkai fisik. Dan sebaliknya aku benar-benar tidak ingin tahu bagaimana rupanya. Sebatas penampilan secara umum dan saat dia menceritakan lebih rinci aku menghentikannya. Dia setuju, karena waktu itu mendekati waktu pertemuan pertama kami - dan sekarang aku takut! 

Awalnnya Ris tidak menyadari seksualitasnya, kami hanya berkenalan seperti biasa lewat dunia maya. Jejaring sosial, telah memungkinkan banyak orang untuk saling berkenalan, bahkan dengan orang-orang yang berada sangat jauh di belahan bumi lain. Sampai satu malam Ris mengejutkanku dengan sebuah telpon dan sejak itu kami saling menelepon secara teratur. Kita sudah sangat terbuka, memberikan banyak rincian harapan, mimpi dan bahkan fantasi. Berbicara, mendengarkan dan belajar satu sama lain. Merasa telah cukup lama saling kenal, dan sekarang kami sudah tinggal di kota yang sama selama lebih dari sebulan meski belum benar-benar bertatap muka. 

Tapi aku masih merasa khawatir, setelah kami bertemu, hubungan ini akan berubah dalam beberapa hal. Aku tahu penampilan bukanlah yang utama, tetapi bagaimana dengan daya tarik fisik? Ketika aku mempertimbangkan hal-hal apa yang membuat aku tertarik secara fisik, aku mencoret-coret kertas kosong dan tanpa sadar aku telah menulis 'Café Octavia'. 

Pikiranku melayang kembali ke minggu sebelumnya, kunjungan pertamaku ke Café Octavia dan wanita yang kulihat di sana. Cukup cantik tetapi juga mencolok. Ya, 'mencolok' adalah kata yang tepat untuknya. Apa yang pertama kali tertangkap mataku adalah rambutnya. Lebat cokelat kemerahan. Sedikit poni berantakan jatuh di wajahnya, dia punya kebiasaan sembarangan merapikannya setiap beberapa menit. Sendirian, terpisah beberapa meja dari tempatku duduk, sesekali meneguk cangkir kopinya yang hampir kosong sementara mata-nya tetap konsentrasi pada kertas yang sedang dia baca. Aku terus mengamatinya. Sesuatu tentangnya membuatku tertarik, kepalanya yang miring, jari-jari yang terus menerus menyeka rambutnya. Dia mendongak sekali dan mendapati mataku yang melihatnya. Dia tersenyum sekilas sebelum matannya kembali membaca kertas yang dia pegang. 

Aku melihat mata hazel - tidak hijau tapi tidak coklat. Mata itu cukup lama melekat dalam ingatanku, sebagai fitur yang paling menarik. Aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa banyak hal yang lebih penting dari sekedar keebihan fisik, namun harus ku akui selalu ada daya tarik tertentu dari eksterior wanita ini, kemasan wanita ini, terutama ketika ia berdiri saat pergi dan aku menyadari bahwa dia secara fisik cukup menarik. 

Aku ingat kali ke dua aku datang ke cafe. Saat itu dua hari setelah kunjungan pertama ku dan aku terus menerus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku kembali karena makanan di situ begitu enak. Pada kesempatan kedua aku perjalanan keluar, ketika dia berjalan melewati pintu. Kali ini kami berdua tersenyum dan perhatianku telah tertarik pada, deretan gigi kecil putih yang berkilauan di antara bibirnya. Aku kecewa bahwa aku tidak punya alasan, atau waktu lebih untuk tinggal dan melihat dia lebih lama.

Masih duduk di ruanganku, berharap bisa mengeluarkan perempuan ini dari pikiranku dan hanya berkonsentrasi pada Ris. Sebelum aku menelepon Ris malam  ini, aku mempertimbangkan apakah perlu menceritakan tentang wanita itu atau tidak. Saat kami berbicara lewat telepon, aku mengatakan agak sedikit merasa takut untuk bertemu, merasa belum sepenuhnya yakin. Aku bertanya apakah dia merasakan hal yang sama. 

"Tidak, Aku tidak khawatir tentang pertemuan kita Vee Aku malah merasa bersemangat. Penasaran dan bersemangat. Aku tahu perasaanku dan tidak akan berubah ketika aku melihatmu nanti." nada hangat nya membuat tenggorokanku sedikit tersedak, sebelum aku tertawa dan bertanya apakah aku sudah memperingatkan dia tentang betapa jeleknya aku. 

Keesokan harinya tepat pukul 01.20 aku berada di jalan di dalam mobilku. Mempertimbangkan untuk melihat perempuan itu di sana lagi atau tidak. Aku tidak mengerti dorongan perasaan ini, aku bahkan merasa sedang berselingkuh dari Ris. Sementara pikiranku penuh dengan hal-hal tidak jelas ini, tanpa sadar aku sudah berada di luar Cafe Octavia! "Oh baiklah, mungkin mampir sebentar saja.” Pikirku.

Aku memasuki Cafe dan ada rasa kecewa saat aku melihat sekeliling. “Ah, mungkin lebih baik aku memesan makanan saja.” Pikirku. Aku memilih meja dengan posisi menghadap pintu. Pelayan muncul dengan pesananku ketika pintu terbuka dan dia berjalan masuk. Melihatku sekilas, tersenyum dan menyapa dengan sedikit canggung.

"Hai." Dia tampak ragu pada langkah nya - sebelum memilih meja kosong yang terletak agak jauh. Hatiku berdebar dan aku tidak yakin apakah itu perasaan lega atau kecewa karna dia memutuskan untuk tidak meminta duduk satu meja denganku.

Dia memesan makanan, sedikit bercanda dengan pelayan. Aku melirik saat melihat kepalanya mulai bergerak ke arahku. Berusaha tetap konsentrasi pada makan siangku, sedikit gugup saat dia terang-terangan mengamatiku. "Dia mungkin bertanya-tanya mengapa dia sering melihatku di sini atau bertanya-tanya mengapa aku tak pernah di temani siapapun."

Kami seperti bermain game, aku akan melihatnya sampai kepalanya mulai berbalik ke arahku. Kembali melihatnya, saat dia memalingkan muka. Dia selesai dengan makan siangnya, mengambil cangkir kopinya, memandang lurus ke arahku dan siap untuk berdiri. "Oh Tuhan! Dia datang! "Pikiranku panik. Di saat yang sama saat dia mendorong kursinya ke belakang, suara laki-laki mengagetkannya.

"Pat! Hai, keberatan jika saya bergabung denganmu " aku memandangnya dengan agak sedikit kecewa sementara dia melirik ke arahku sebelum dia menoleh dengan senyum ke arah laki-laki yang baru saja memasuki cafe.

"Hai Sam. Ya tentu saja kamu bisa bergabung denganku - tapi aku harus berangkat lima menit  lagi." Suaranya terdengar sedikit lebih keras. Mungkin untuk menutupi rasa malunya.

Suara mereka sedikit lebih rendah saat mereka terlibat dalam percakapan dan Pat menghabiskan kopinya. Dia menggeser kursinya ke belakang sekali lagi, saat berpamitan dengan laki-laki itu. Berjalan keluar dan melewati mejaku, aku berpaling untuk melirik ke arahnya. Dia berhenti sejenak, tersenyum dan berbicara.

"Hai, aku pernah melihatmu di sini beberapa kali. Mungkin besok kita bisa makan siang bersama besok-besok." Dia mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman.

"Oh hai Pat, maaf tapi aku tadi tidak sengaja mendengarkan." kataku dengan senyum dan mengangguk ke arah laki-laki tadi. "Namaku Veonna dan kamu mungkin akan melihatku di sini agak lebih sering. Makanan di sini lezat. ". Cengkeramannya tegas dan sejuk.

"Senang bertemu kamu Veonna. Aku harus buru-buru sekarang - janji sore dll " tersenyum dan bergegas pergi, meninggalkanku kewalahan. Bagaimana ia bisa membuatku merasa sesenang ini? Kami hanya bertemu tiga kali. Di mana semua teoriku sekarang? Apa yang lebih penting? Mencintai 'bagian dalam' seseorang atau saat ini aku sedang jatuh hati dengan tampilan luar tanpa memikirkan seperti apa pribadinya? 


Bersambung... ke Stranger II

Wednesday, May 9, 2012

The Horniest of The Seasons

Seharusnnya saat ini musim semi klo kita punya 4 musim... lalu di tempat kita? Kadang panas kadang hujan.. bahkan kebanyakan panas sampe bikin kulit menghitam. Banyak sinar matahari, burung, tank top, sandal jepit dan kulit kemerahan yang terbakar.

Orang sering berspekulasi bahwa Musim seperti ini hampir mirip dengan musim semi,
the horniest of the seasons, meski secara pribadi aku merasa selalu bergairah setiap musim. Aku bisa mengerti mengapa Musim Semi membawa kita ke tingkat berikutnya. Setelah winter yang panjang dan dingin, orang muncul saat Spring dengan pakaian skimpier, lebih banyak energi dan keinginan untuk bergerak. Sangat mudah untuk melihat bagaimana suasana mungkin menyebabkan lebih banyak sex

Hmm... sex...

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...