Wednesday, November 16, 2016

Kereta Pagi

Bekerja di jakarta dan memiliki rumah di luar Jakarta, artinya setiap hari harus selalu memulai hari dengan mengejar jadwal kereta. Dan tentu saja antrian panjang di station sudah menunggu saling berebut kursi kosong. Tapi hari ini aku sedikit beruntung.
Kereta mulai bergerak, semua kursi penuh bahkan beberapa orang harus rela berdiri. Dan ini bahkan belum semua, kereta masih harus berhenti di beberapa station untuk menaikan penumpang lain sebelum berhenti di tempat tujuanku. 
Orang yang berdiri semakin padat, beberapa orang harus berdiri saling berdempetan. Satu orang berdiri menghadapku, atau lebih tepatnya menghadap jendela dibelakangku. Bisa di bilang rata-rata perempuan di gerbong ini adalah penumpang yang sama setiap harinya. Kami akan bertemu saat berangkat kerja dan juga sore hari saat pulang.
Aku pernah melihatnya beberapa kali, dan ini menjadi minggu ketiga secara berturut-turut kami berdua berada di gerbong yang sama. Dia tersenyum setiap kali mata kami bertemu dan itu membuatku agak tidak nyaman, seolah dia bisa melihat menembusku.
Dia tinggi dengan rambut panjang yang sebagian dia ikat sembarang ke belakang, caranya berpakaian kombinasi yang sederhana dengan warna-warna natural dan hangat serta kacamata yang membuatnya terlihat lebih menarik. Aku terka usianya tidak jauh berbeda dariku, bukan orang yang terlalu banyak bicara.
Kereta sedikit bergoyang membuat badannya condong ke depan dan kebelakang, ketika dia sedikit membungkuk, aku bisa mencium aroma samar parfumnya, aroma yang sedikit maskulin namun lebih lembut dari parfum laki-laki. Diam-diam aku menengadah untuk melihat wajahnya sekilas dan mendapatinya menunduk menatap lurus ke arahku dan tersenyum.
"Bukunya bagus?" Tanyanya, sambil menunjuk buku yg sedang ku baca.
Aku tersenyum dan mengangguk dan menjawab 'ya'. Setelah beberapa detik. "Belum semua aku baca, aku baru saja membelinya." Tambahku.
“The girl on the train ya?” tanyanya lagi.
Aku begitu asyik melihat bibirnya seolah bergerak dengan lambat, dan membuatku hampir tidak memperhatikan pertanyaannya. 
"ah, ya... thriller psikologi... " jawabku
"Sungguh? Sepertinya menarik.” Aku tertawa gugup, menyadari sesuatu yang penting terlewatkan. Aku sedikit membetulkan letak dudukku dan mengulurkan tangan "Namaku Ann."
“Jill." Dia meraih tanganku dan tertawa pelan. "Kapan-kapan ceritakan isi bukunya.” Lanjutnya.
"Tentu, dengan senang hati." Jawabku. Saat itu, saat kami menatap mata satu sama lain, aku bertanya-tanya apa yang dilihatnya ketika dia menatap mataku. Apakah dia hanya melihat pupil hitam dikelilingi warna coklat atau apakah dia melihat sesuatu yang lebih dari itu? Apakah dia melihat pikiran dan emosiku atau bahkan mungkin jiwaku? Kemudian dengungan suara pengumuman mengalihkan perhatian kami. Aku mendengarkan dan menyadari aku harus turun di station itu. Ketika aku melihatnya kembali, tangan kami masih bersalaman.
"Ah maaf aku harus turun di sini.” Kataku melepaskan genggamannya dan berdiri dengan sedikit terburu-buru.
"Silakan, tentu saja.“ dia tersenyum tenang memberiku jalan untuk keluar. Aku segera keluar kereta dengan sedikit tergesa-gesa bersama penumpang yang lain.
Aku meliriknya, dan dia masih memperhatikankku dari dalam kereta yang pelan-pelan mulai bergerak kembali. Aku tahu aku tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. Tau bahwa kami akan bertemu lagi di kereta yang sama.

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...