Aku melihatnya lagi hari ini, menjadikannya minggu ketiga secara berturut-turut kami berdua berada di Laundry pada waktu
yang sama.
Dia tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia ramping dan berambut gelap, bukan tipeku sama sekali sebenarnya, tapi ada sesuatu tentang dirinya yang menarik perhatianku. Mungkin cara dia selalu tertawa dan tampak begitu ramah terhadap semua orang di sekelilingnya. Dia begitu hidup dan bersemangat, dan itu membuat siapapun merasa nyaman berada di dekatnya.
Dia tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia ramping dan berambut gelap, bukan tipeku sama sekali sebenarnya, tapi ada sesuatu tentang dirinya yang menarik perhatianku. Mungkin cara dia selalu tertawa dan tampak begitu ramah terhadap semua orang di sekelilingnya. Dia begitu hidup dan bersemangat, dan itu membuat siapapun merasa nyaman berada di dekatnya.
Sementara menunggu cucianku
selesai. Sekilas aku melirik dan mendapati dia
menatapku dan tersenyum. Aku bertanya-tanya sendiri. Apakah ia pernah tertarik pada seseorang seperti aku? Tentu saja tak ada jawaban untuk
pertanyaanku. Kami bahkan tidak
pernah saling bertegur sapa,
namun aku tidak bisa mengeluarkan dia dari pikiranku sejak minggu sore pertama kami bertemu. Dia tidak seperti yang lain, biasanya aku lebih tertarik dengan orang-orang yang tenang, kurang lebih seperti diriku. Semakin aku duduk dan
berpikir tentang dirinya, semakin aku ingin tau banyak hal tentangnya.
Sambil menunggu pakaianku dikeringkan, aku memilih duduk di kursi dan menarik keluar bukuku. Tiba-tiba dia
ada di sana, duduk di kursi sebelahku.
Dia membungkuk sedikit. "Apa yang kamu baca?"
Suaranya tidak tinggi atau rendah tetapi antara lembut dan menyenangkan. Ketika dia membungkuk lebih dekat , aku bisa mencium aroma samar kelopak bunga. Di latar belakang aku bisa mendengar suara mesin berputar, pengering bergemuruh dan bahkan beberapa percakapan bernada rendah di sekitarku.
Dia membungkuk sedikit. "Apa yang kamu baca?"
Suaranya tidak tinggi atau rendah tetapi antara lembut dan menyenangkan. Ketika dia membungkuk lebih dekat , aku bisa mencium aroma samar kelopak bunga. Di latar belakang aku bisa mendengar suara mesin berputar, pengering bergemuruh dan bahkan beberapa percakapan bernada rendah di sekitarku.
Aku menutup buku itu dan menunjukkan sampul depannya. "Ini eh, Asisten Penyihir by Anne Patchett." Menatap sekilas wajahnya dan dalam hati mengutuk kegugupan dalam suaraku.
Dia menatap lurus ke arahku dan tersenyum mempesona. "Bagus?"
Aku tersenyum menjawab dengan tenang 'ya'.
"Sungguh? Apa yang biasanya sering kamu baca? "
Sekarang ini adalah pembicaraan yang membuat aku merasa lebih nyaman. "Yah, aku biasanya lebih suka fiksi ilmiah. Aku tidak begitu banyak membaca horor tapi sisanya aku suka. "
Dia memiringkan kepalanya ke samping, "Bagaimana dengan non-fiksi? Apakah kamu pernah membaca itu?"
Aku meringis, “Tidak, aku membaca untuk menghibur diri dan berimajinasi, jika aku menginginkan realita aku akan membaca Koran atau menonton berita di TV saja.”
Dia tertawa dan aku bersumpah aku melihat matanya bersinar. "Aku
pikir kau mengambarkan sesuatu yang sama percis dengan apa yang aku pikirkan."
Aku menutup bukuku, merasa tidak berminat meneruskan. Aku memiliki dua puluh menit lagi sebelum pengering selesai dengan baju-bajuku. Tanpa melihat langsung wajahnya aku memberanikan diri bertanya. "Jadi apa pekerjaanmu?"
Dia membetulkan letak duduknya sebelum menjawab. "Well, aku asisten editor surat kabar."
Ada sesuatu dengan wanita cerdas dan mengerti sastra yang selalu membuatku tertarik, tidak masalah dia Gay or Straight. Dia tampak begitu bersemangat dengan pekerjaannya. "Asisten Editor ya? Wow, itu hebat! Jadi sudah berapa lama bekerja di sana? "
"Oh, sekitar dua tahun. Aku awalnya ingin menjadi seorang wartawan, tapi kemudian aku memutuskan ingin lebih mengontrol apa yang akan di baca. Jadi di sinilah aku, sebagai asisten Editor." Dia melambaikan tangannya di udara saat ia selesai berbicara. "Bagaimana dengan kamu, apa pekerjaanmu?"
Aku begitu asyik melihat caranya berbicara, dan membuatku hampir tidak memperhatikan pertanyaannya. Aku berdeham, "Yah, uh, aku menjalankan sebuah toko, toko kecil di pusat kota. Kami menjual spesialis buku tua. "
Dia memiringkan kepalanya ke arahku lagi. "Sungguh? Aku pernah ke sana beberapa kali dan aku tidak ingat pernah melihat kamu di sana. Apakah kamu baru saja mulai bekerja dalam beberapa bulan terakhir? "
Tiba-tiba aku merasa gugup lagi. "Akan sulit melihatku di sana, karena aku bekerja pada jam tertentu. Aku hanya menggantikan karyawan yang libur atau tidak dapat bekerja untuk beberapa alasan." Aku tertawa gugup, menyadari sesuatu yang penting terlewatkan. Aku sedikit membetulkan letak dudukku dan mengulurkan tangan. "Aku kira aku harus memperkenalkan diri. Namaku Ana. "
"Namaku Jill. Jadi itu toko kamu? That's good." Dia meraih tanganku dan tertawa pelan. Saat itu, saat kami menatap mata satu sama lain, aku merasakan sesuatu. Kuat dan sekaligus halus. Aku bertanya-tanya apa yang dilihatnya ketika dia menatap mataku. Apakah dia hanya melihat pupil hitam dikelilingi warna biru atau apakah dia melihat sesuatu yang lebih dari itu? Apakah dia melihat pikiran dan emosiku atau bahkan mungkin jiwaku? Kemudian dengungan mesin pengering, mengalihkan perhatian kami. Aku memelihat jam dan menyadari pakaian-pakaianku selesai di keringkan. Ketika aku melihatnya kembali, tangan kami masih saling menggenggam.
"Apakah Anda ingin ..."
"Bagaimana kalau ..."
Kami tertawa karena kami mulai berbicara pada waktu yang sama. Aku mengangguk malu-malu "Silakan."
Dia tersenyum. "Apakah kamu mau pergi untuk minum kopi?"
Aku merasa lega, karena dia meminta sesuatu yang sama percis dengan yang aku pikirkan. Aku tahu aku tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. "Tentu, dengan senang hati." Kembali melirik pengeringku. "Aku harus menyelesaikan ini terlebih dahulu. Kamu tidak keberatan menunggu?".
Sekali lagi dengan senyum. "Tidak, tidak sama sekali."
Aku setengah jalan kearah mesin pengering ketika aku teringat sesuatu. Aku berbalik dan mendapatinya sudah menatapku. "Eh Jill, bagaiman dengan pakaian-pakaian kamu?".
Dia menatapku dan menunjuk kearah keranjang dekat pintu. Ada sekeranjang pakaian terlipat rapi. Ketika aku menatapnya dengan bingung dia benar-benar tersipu. "Aku selesai tepat sebelum aku duduk dan berbicara dengan kamu." Kami saling memandang dan aku mengerti.
Setelah aku selesai dengan cuciku dan berjalan menuju kendaraan kami masing-masing, dia menghampiriku di pintu mobil. "Bagaimana kalo di Bean Café?" Ketika aku mengangguk, dia melanjutkan, "Kamu mau mengikuti mobilku ke sana?".
Aku menatap mata hijau yang jelas dan tahu bahwa aku tertarik padanya. "Tentu, kamu memimpin dan aku akan mengikutimu dari belakang." Dia tersenyum dan berbalik, namun dengan cepat berbalik lagi dan melangkah mendekat.
Ketika aku menatap matanya lagi aku melihat sesuatu yang baru dan aku tahu hal yang sama bersinar di mataku sendiri. Aku melihat ketertarikan yang sama. Perlahan dia mendekat sampai ujung jari kami bersentuhan. Dia tersenyum tenang. "Aku akan melihat kamu dalam beberapa menit lagi khan?"
Aku hanya tersenyum. "Kau memimpin dan aku akan mengikuti." Dan itulah akhir dari awal kami.
Aku menutup bukuku, merasa tidak berminat meneruskan. Aku memiliki dua puluh menit lagi sebelum pengering selesai dengan baju-bajuku. Tanpa melihat langsung wajahnya aku memberanikan diri bertanya. "Jadi apa pekerjaanmu?"
Dia membetulkan letak duduknya sebelum menjawab. "Well, aku asisten editor surat kabar."
Ada sesuatu dengan wanita cerdas dan mengerti sastra yang selalu membuatku tertarik, tidak masalah dia Gay or Straight. Dia tampak begitu bersemangat dengan pekerjaannya. "Asisten Editor ya? Wow, itu hebat! Jadi sudah berapa lama bekerja di sana? "
"Oh, sekitar dua tahun. Aku awalnya ingin menjadi seorang wartawan, tapi kemudian aku memutuskan ingin lebih mengontrol apa yang akan di baca. Jadi di sinilah aku, sebagai asisten Editor." Dia melambaikan tangannya di udara saat ia selesai berbicara. "Bagaimana dengan kamu, apa pekerjaanmu?"
Aku begitu asyik melihat caranya berbicara, dan membuatku hampir tidak memperhatikan pertanyaannya. Aku berdeham, "Yah, uh, aku menjalankan sebuah toko, toko kecil di pusat kota. Kami menjual spesialis buku tua. "
Dia memiringkan kepalanya ke arahku lagi. "Sungguh? Aku pernah ke sana beberapa kali dan aku tidak ingat pernah melihat kamu di sana. Apakah kamu baru saja mulai bekerja dalam beberapa bulan terakhir? "
Tiba-tiba aku merasa gugup lagi. "Akan sulit melihatku di sana, karena aku bekerja pada jam tertentu. Aku hanya menggantikan karyawan yang libur atau tidak dapat bekerja untuk beberapa alasan." Aku tertawa gugup, menyadari sesuatu yang penting terlewatkan. Aku sedikit membetulkan letak dudukku dan mengulurkan tangan. "Aku kira aku harus memperkenalkan diri. Namaku Ana. "
"Namaku Jill. Jadi itu toko kamu? That's good." Dia meraih tanganku dan tertawa pelan. Saat itu, saat kami menatap mata satu sama lain, aku merasakan sesuatu. Kuat dan sekaligus halus. Aku bertanya-tanya apa yang dilihatnya ketika dia menatap mataku. Apakah dia hanya melihat pupil hitam dikelilingi warna biru atau apakah dia melihat sesuatu yang lebih dari itu? Apakah dia melihat pikiran dan emosiku atau bahkan mungkin jiwaku? Kemudian dengungan mesin pengering, mengalihkan perhatian kami. Aku memelihat jam dan menyadari pakaian-pakaianku selesai di keringkan. Ketika aku melihatnya kembali, tangan kami masih saling menggenggam.
"Apakah Anda ingin ..."
"Bagaimana kalau ..."
Kami tertawa karena kami mulai berbicara pada waktu yang sama. Aku mengangguk malu-malu "Silakan."
Dia tersenyum. "Apakah kamu mau pergi untuk minum kopi?"
Aku merasa lega, karena dia meminta sesuatu yang sama percis dengan yang aku pikirkan. Aku tahu aku tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. "Tentu, dengan senang hati." Kembali melirik pengeringku. "Aku harus menyelesaikan ini terlebih dahulu. Kamu tidak keberatan menunggu?".
Sekali lagi dengan senyum. "Tidak, tidak sama sekali."
Aku setengah jalan kearah mesin pengering ketika aku teringat sesuatu. Aku berbalik dan mendapatinya sudah menatapku. "Eh Jill, bagaiman dengan pakaian-pakaian kamu?".
Dia menatapku dan menunjuk kearah keranjang dekat pintu. Ada sekeranjang pakaian terlipat rapi. Ketika aku menatapnya dengan bingung dia benar-benar tersipu. "Aku selesai tepat sebelum aku duduk dan berbicara dengan kamu." Kami saling memandang dan aku mengerti.
Setelah aku selesai dengan cuciku dan berjalan menuju kendaraan kami masing-masing, dia menghampiriku di pintu mobil. "Bagaimana kalo di Bean Café?" Ketika aku mengangguk, dia melanjutkan, "Kamu mau mengikuti mobilku ke sana?".
Aku menatap mata hijau yang jelas dan tahu bahwa aku tertarik padanya. "Tentu, kamu memimpin dan aku akan mengikutimu dari belakang." Dia tersenyum dan berbalik, namun dengan cepat berbalik lagi dan melangkah mendekat.
Ketika aku menatap matanya lagi aku melihat sesuatu yang baru dan aku tahu hal yang sama bersinar di mataku sendiri. Aku melihat ketertarikan yang sama. Perlahan dia mendekat sampai ujung jari kami bersentuhan. Dia tersenyum tenang. "Aku akan melihat kamu dalam beberapa menit lagi khan?"
Aku hanya tersenyum. "Kau memimpin dan aku akan mengikuti." Dan itulah akhir dari awal kami.