Friday, May 18, 2012

Stranger III

Aku bergegas pulang, mencuci rambut, mengenakan baju merah dan mencari celana hitam namun tidak berhasil menemukannya di mana pun. Sialan! Di mana aku meletakannya? Tak ada waktu lagi aku memutuskan untuk mengenakan rok hitam. Tersenyum pada diriku sendiri saat berdiri di depan cermin, stoking hitam dan sedikit make-up.

Melirik jam, baru sadar sudah jam 18:45. Seharusnya sudah berangkat. Aku memutuskan untuk berjalan ke bar karena cukup dekat, hanya beberapa blok dari tempat tinggalku. Aku mungkin akan memesan minum untuk membuatku sedikit lebih santai dan menunggu Ris.

Sesampainya di bar tepat pukul 07:00, aku disambut Sue di depan counter. Aku memesan anggur putih, melirik sekeliling, satu kelompok orang di sebelah bawah bar, beberapa orang di salah satu stand dan beberapa anak perempuan di sudut agak gelap. Ada lagi sekelompok perempuan di ruang sebelah kolam renang tapi mereka semua memakai pakaian hitam atau t-shirt putih.

Duduk menunggu, senang bahwa Sue sedikit sibuk karena aku sedang tidak ingin banyak bicara. Aku ingin mengamati pintu masuk, tanpa terlihat terlalu jelas, jadi aku duduk di samping meja, melirik pintu setiap kali terbuka.

Sedikit ramai dengan aliran orang yang datang. Sebagian besar pendatang baru, laki-laki dan aku lega melihat bahwa beberapa bilik masih kosong. Akhirnya pintu terbuka dan aku melihat kemeja ungu dan jeans biru, seorang perempuan berjalan masuk. Aku tidak dapat menahan hatiku sedikit terenyah  melihat tampilan maskulinnya, tinggi, rambut pendek, tato terlihat di lengan atasnya dan aku melihat lurus ke arah wajahnya. 

“Kenapa kau tidak membiarkan dia memberitahu bagaimana rupanya? " aku memarahi diriku sendiri, terlambat.

Aku tersenyum menyambutnya dan matanya berbinar saat ia melenggang ke arahku. "Well, dia terlihat cukup senang." Pikirku dengan cara yang sedikit tidak puas.

"Hai. Aku sudah menunggumu," Aku berusaha menjaga senyuman senormal mungkin. "Kamu ingin minum apa?" Dia sedikit terkejut, sebelum dia duduk di kursi sebelahku.

"Bisa VB, terima kasih, sayang." Katanya kepada Sue yang tau-tau sudah ada di depan kami. Aku terkejut, aku pikir Ris menyukai anggur. Sebelum aku bisa berkomentar, pintu terbuka dan aku melirik ke samping, rasannya menjadi kebiasaan. Aku terkejut melihat Pat masuk dan berdiri persis di pintu. Cahaya remang-remang tapi aku mengenalinya, kemeja hijau itu warna ideal untuk rambutnya.

Aku sadar dia tidak bisa melihat wajahku karena cahaya dari bar di belakang kepala ku. Tapi dia melihat Ris dan aku dari atas ke bawah, dan sedikit lebih lama mengamati rok mini yang aku kenakan.

 “Aha! She’s a leg person.” Pikirku sambil tersenyum.

Matanya beralih dari kami, saat ia melihat sekeliling. “Ada janji dengan seseorang." aku menduga dan tiba-tiba merasa cemburu dengan wanita yang sedang dia cari.

Aku berbalik kembali ke Ris dan berharap bahwa aku hanya sedang berimajinasi melihat  lirik an penuh harapan di wajahnya.

"Jadi. Kamu sedang Menungguku sayang?" dia berkata dengan lirik yang pasti dan aku menghela napas lega, mengetahui sekarang bahwa ini bukan Ris. Aku tahu bahwa telepon dapat menyamarkan suara, tapi suara dan terutama kata-kata yang biasa digunakan terlalu berbeda dari Ris.

"Aku pikir, aku harus meminta maaf." aku memulai sopan "Aku benar-benar hendak bertemu dengan seseorang untuk pertama kalinya malam ini dan ia mengenakan atasan ungu. Jelas aku telah melakukan kesalahan."

"Kenapa! Siapa nama dia?" Bertanya dengan nada sedikit agresif.
 
"Kenapa? Siapa nama kamu?" Aku bertanya. Dia ragu-ragu tetapi sadar dia tidak memiliki harapan menyebutkan nama yang benar, jadi dia bilang namanya Ricky.

"Well, it was nice to meet you Ricky, tapi aku lebih baik terus mencarinya sekarang." Aku berbalik dan bejalan sampai samping pintu. Aku tahu Ricky sedikit enggan pergi, tetapi setelah ragu-ragu sedikit, dia melangkah pergi ke ruang biliar. Aku mendesah lega sekali lagi tapi aku juga merasa ketakutan, karena aku bertanya-tanya apakah Ris nyata.

Posisiku sekarang memberiku keleluasaan melihat tempat Pat yang berada lebih bawah dari bar dan Aku melihatnya mengangkat gelas dan menyesap minumannya. Dia sedikit menegang seolah-olah sadar sedang diawasi. Dia menoleh, tajam dan aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya karena dia sadar siapa aku. Aku melihat kesenangan diganti kejutan dan dia tersenyum dan mengangguk. Aku melihat sekilas di sekitar bar dan melirik pintu, membenarkan dugaanku bahwa dia menunggu seorang teman atau lebih mungkin, kekasih. Aku tidak merasakan kepuasan mengetahui aku sudah benar dalam anggapan terakhirku bahwa dia gay. Aku hanya merasa sedikit penyesalan kesempatan yang hilang.

Sue menuangkan minuman untuk ku lagi dan kami mengobrol sebentar, basa basi sedikit  untuk menghilangkan rasa frustrasi dan kekecewaanku setiap kali melihat pintu dibuka. Aku melihat Pat masih duduk sendiri dan sering melirik pintu masuk. Kencannya juga belum tiba.

Aku harus pergi ke kamar mandi, jadi aku meminta Sue untuk melihat siapa saja yang memasuki bar dengan mengenakan atasan ungu. Aku mencuci tanganku ketika Pat berjalan masuk.

"Kencannya tidak juga muncul?" aku membuka percakapan.

"Tidak." jawabnya, ada nada khawatir dalam suaranya "Aku tahu dia dengan cukup baik dan aku tahu dia tidak mungkin tidak muncul." Aku merasakan ada rasa nyeri pada saat dia berbicara tentang pasangan yang jelas dicintainya. Aku mencoba untuk menutupinya dengan mengatakan bahwa aku juga khawatir tentang penampilan non-kencanku.

Aku kembali ke bar dan menerima gelengan kepala dari Sue. Ketika Pat kembali, dia mengambil gelas dan minta untuk bergabung dengan ku

"Kita mungkin bisa  ngobrol sementara kita menunggu," dan, setelah menerima senyum dan anggukan, dia menarik kursi dan duduk di atasnya, sedikit menyenggol lututku saat melakukannya. Hampir seperti sengatan listrik, aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tidak memperhatikannya tapi, ketika aku melihat wajahnya memerah, aku tau dia menyadarinya. Mataku terus melayang pada rambut merahnya saat kita berbicara tentang hal-hal tidak penting. Kadang-kadang mempertahankan kontak mata untuk sepersekian detik lebih lama dari seharusnya.

Kami berdua berhenti melihat setiap kali pintu masuk terbuka dan aku berbicara tentang politik dalam gerakan perempuan ketika aku berhenti, benar-benar lupa apa yang barusaja aku bicarakan. Aku merasa tenggelam dalam matanya dan bibirku terbuka sedikit untuk mengakomodasi pernapasan ku lebih cepat. Dia tampaknya tidak menyadari aku akan berhenti bicara - bahkan ketika matanya turun melihat mulutku. Aku merasa diriku tertarik ke arahnya, kebutuhan dalam diriku yang luar biasa.

Bibirnya hangat seperti hembusan napas saat menyentuh bibirku. Lembut, bukan tanpa perasaan tetapi, pada saat ini, tanpa gairah. Singkat, eksplorasi kiss - selesai hampir sebelum mulai, tetapi aku merasa jejak bibirnya terbakar sendiri, mengelitik.
 
"Bisakah kita pergi ke suatu tempat yang lebih tenang?" Pat bergumam, "Aku tidak familiar dengan daerah ini."

"
Kita bisa pergi ke rumahku, cukup dekat dari sini." undangku. Dia terlihat terkejut 

“Ya... Mobilku ada di luar, apa kita memakai mobilku atau berjalan?” Hatiku berdebar dengan kegembiraan saat aku menyarankan dia untuk membawaku ke sana.

Aku mencari Sue untuk mengucapkan selamat tinggal - tapi ia tidak ada. Kami berjalan keluar dan Pat membuka pintu mobil untukku, kemudian duduk di depan kemudi. Dia baru saja menyalakan mesin ketika Sue melaju sampai di mobilnya dan parkir di sebelah mobil Pat. Dia melihatku,
 
"Off sekarang
Vee?" Tanyanya. Pat menatapku dengan heran. 

"Apakah wanita dengan atasan ungu akhirnya muncul?" aku melihat Sue melewati Pat. 

"Sayangnya tidak." Jawabku sambil menggelengkan kepala

"Sampai nanti Vee, Bye." Dengan senyum pada kami berdua. Dia berjalan kembali ke bar. Pat mematikan mesinnya dan aku menatapnya penuh Tanya.

"Vee?" Tanyanya dengan nada berbeda.

"Ya?" Aku tidak
sepenuhnya mengerti dengan pertanyaannya.

"Apakah
kamu memiliki celana hitam?" Yang membuatku semakin kebingungan
 
"Yaa... aku benar-benar harus memakainya malam ini tapi tidak bisa menemukan benda sialan itu di mana-mana. Mengapa? " Tersenyum? 
 
"
Aku memiliki masalah yang sama, tetapi dalam kasusku ini bagian atasku yang seharusnya aku kenakan malam ini, mmhh.. Yang berwarna ungu, sedikit kotor. "
 
Aku menatapnya dengan takjub, "
Ris? Tetapi Sam memanggilmu Pat
? "
 
"Ya, aku tahu.
Sam sahabat lamaku, itu adalah panggilanku waktu masih sekolah.  Dan sekarang orang-orang lebih memilih memanggilku Ris."

Kami saling memandang
tak mampu bicara. Tanganku terangkat, ragu-ragu, turun lagi. Mulutnya terbuka untuk berbicara, lalu menutupnya lagi. Kami berpaling dan kemudian kembali lagi dan mata kami bertemu dan dua perasaan yang sama sekali berbeda; cinta untuk orang yang dikenal dan daya tarik terhadap orang tak dikenal, menyatu dan menjadi satu. Aku mengangkat tangan sekali lagi dan, kali ini, aku membelai pipinya.
 
"
Ris," aku memulai - secara naluriah memanggilnya dengan nama itu,  "Aku mencintaimu, dengan sepenuh hati. Apakah kamu mau mengantarku pulang sehingga kita dapat lebih mengenal satu sama lain? "
 
"Ya..." Dia tersenyum nakal, "Sepanjang akhir pekan sudah cukup
sebagai awal kan? Aku harap kamu memiliki banyak makanan di rumah, karna aku tidak mau harus keluar dan... "




Tamat

11 comments:

Anonymous said...

one words... I love the way you wrote....
-Endless summer night-

floo said...

thanks... ^_^

Anonymous said...

like it... *aya*

Unknown said...

Dan...

Sinyo said...

Koq aku ikutan kebat kebit yaaaa???? Bravooo, unexpected end of story :))

Alev said...

Kereeeeeenn, tante *thumbs up :D

floo said...

@Sinyoooooo... : hehehe... makasiiiihhh... :D

@Aleeeevvv.... : kemana ajaaaa... saya gk ada yg bisa di ganguiinn klo gk ada kmu... hehehe thanks ya...

floo said...

@Biiiiii... : dan selanjutnya terserah anda... :D

indra said...

nice

Anonymous said...

Kembali ke sini setelah 7 tahun lebih... Menjelang summer...

justfloo.blogspot.com said...

Thanks sudah mampir... sepertinya saya tersesat di suatu tempat.. hahha... waaaww... I relly miss my old live...

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...