Thursday, December 22, 2011

Senja

Aku menyukai senja seperti halnya dia. Bagiku senja selalu sempurna. Kami selalu menunggu senja itu datang, bahkan sampai malam menjelang.
"Senja kali ini lebih indah dari biasanya khan Ve?" tanyanya.
Lamunan dan senyuman tanggungku terputus. Kembali aku memperhatikan senja yang merona pada genangan-genangan sisa air hujan. Dhi menyenderkan kepalanya ke pundakku “Disini rasanya waktu berjalan lambat. Kau terlalu lama pergi.” lanjutnya diiringi helaan napas gemetar. Aku bisa merasakannya. Gemuruh dalam dirinya membuat bibirnya menggigil dingin dan beku. Sementara tak terasa bibirku juga menjelma ngarai; sunyi. 

“Maaf … “ Getaran bibirku kelu.
"Ya, aku tahu… Katamu semua punya alasan. Mengapa matahari terbit di ufuk Barat dan terbenam diufuk timur. Semuanya memiliki alasan. Dan kau juga punya alasan.“ Senyumnya getir. “Ah lihat… bahkan senja sudah hampir habis. Tapi besok senja merah lagi dan, kau selalu bisa bertemu denganku di sini." Lanjutnya.
Aku hanya menatapnya, waktu berlalu dengan cepat sekaligus lambat. Sisa senja kala itu kami lewati dalam bisu.

“Hei Ve!! Sedang apa duduk sendiri di situ, ini sudah waktunya kita berangkat…” Hana menepuk pundak, “Lebih baik kita bergegas, misa pemakaman Dhi sebentar lagi.” Aku berdiri, dan sekali lagi menatap bangku kosong itu. Aku merapatkan jaket dan menghangatkan kedua tanganku dalam saku. Angin berhembus, lampu taman kota mulai menyala satu persatu.

2 comments:

Anonymous said...

Dear my Dear,

Dejavu dan air mataku dipagi yang bersalju tipis.
Senjaku sudah lama pergi dan hanya gelap pekat yang menyergap.

floo said...

Dear my dear... senja selalu ada, bahkan mungkin di kotamu jauh lebih lama.

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...