Monday, May 14, 2012

Stranger I

"Jadi. Kapan kita ketemu, Vee? " Tanyanya lagi. Aku ragu, masih enggan memutuskan kapan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Aku tidak sepenuhnya bisa menjelaskan alasan kenapa aku masih ingin membatasi semua komunikasi kami hanya sebatas sms, chat, atau telepon, bahkan setelah sekian lama. 

"Aku sibuk, Ris. Pekerjaanku akhir-akhir ini agak sedikit banyak. Aku tahu kamu sama sibuknya seperti aku minggu ini, dan aku ingin kita benar-benar memiliki banyak waktu nanti. Kamu tidak mau kita diburu-buru waktu kan? " Bujukku. Aku tahu bahwa Ris tidak senang dengan jawaban ini, tetapi, seperti biasa, ia selalu menerimanya dengan cukup baik.

"Baiklah, bila kamu siap aku yakin waktunya memang tepat. Anyway… Aku harus buru-buru sekarang sayang. Aku ada pertemuan pukul sepuluh. Call you tonight.” 

Aku tahu aku tidak sepenuhnya adil. Dia sudah kembali tinggal di Perth selama lebih dari sebulan dan kita sudah saling berkomunikasi secara intens selama beberapa bulan sebelumnya, namun aku masih saja menghindari untuk bertemu. Kami semakin dekat melalui surat-surat, dan percakapan di telepon tetapi jika kami bertemu di jalan kami tidak akan saling menyadarinya, she’d be a perfect stranger! 

Sore yang tenang di tempat kerja, aku membiarkan diriku memikirkan masa lalu - kenangan tentang Jill. “What a beautiful couple” semua orang akan mengatakan begitu. Satu tahun setelah coming out, aku bertemu Jill dan aku baru saja mengakhiri sebuah hubungan yang tidak menyenangkan. Jill adalah seorang pesolek, dia selalu mencoba mengatur semua yang akan kita kenakan. Rambutku pirang sementara miliknya hitam, kita sama tinggi. Aku dengan postur tubuh ramping, sementara dia lebih bulat dan penuh. Jill tidak pernah benar-benar tertarik padaku, aku hanya sebagai aksesoris baginya. Aku hanya berfungsi untuk menunjang penampilan dan image-nya; dua aspek yang sangat penting dalam hidupnya. Bahkan setelah lebih dari setahun bersama, aku tidak benar-benar banyak tau tentangnya. 

Mungkin itu juga alasan mengapa aku pikir sikapku terhadap Ris benar. Aku ingin kita saling mengenal satu sama lain sebelum kami bertemu. Aku tidak ingin penampilan luarku mempengaruhinya. Aku ingin dia mengenal 'Aku' di luar bingkai fisik. Dan sebaliknya aku benar-benar tidak ingin tahu bagaimana rupanya. Sebatas penampilan secara umum dan saat dia menceritakan lebih rinci aku menghentikannya. Dia setuju, karena waktu itu mendekati waktu pertemuan pertama kami - dan sekarang aku takut! 

Awalnnya Ris tidak menyadari seksualitasnya, kami hanya berkenalan seperti biasa lewat dunia maya. Jejaring sosial, telah memungkinkan banyak orang untuk saling berkenalan, bahkan dengan orang-orang yang berada sangat jauh di belahan bumi lain. Sampai satu malam Ris mengejutkanku dengan sebuah telpon dan sejak itu kami saling menelepon secara teratur. Kita sudah sangat terbuka, memberikan banyak rincian harapan, mimpi dan bahkan fantasi. Berbicara, mendengarkan dan belajar satu sama lain. Merasa telah cukup lama saling kenal, dan sekarang kami sudah tinggal di kota yang sama selama lebih dari sebulan meski belum benar-benar bertatap muka. 

Tapi aku masih merasa khawatir, setelah kami bertemu, hubungan ini akan berubah dalam beberapa hal. Aku tahu penampilan bukanlah yang utama, tetapi bagaimana dengan daya tarik fisik? Ketika aku mempertimbangkan hal-hal apa yang membuat aku tertarik secara fisik, aku mencoret-coret kertas kosong dan tanpa sadar aku telah menulis 'Café Octavia'. 

Pikiranku melayang kembali ke minggu sebelumnya, kunjungan pertamaku ke Café Octavia dan wanita yang kulihat di sana. Cukup cantik tetapi juga mencolok. Ya, 'mencolok' adalah kata yang tepat untuknya. Apa yang pertama kali tertangkap mataku adalah rambutnya. Lebat cokelat kemerahan. Sedikit poni berantakan jatuh di wajahnya, dia punya kebiasaan sembarangan merapikannya setiap beberapa menit. Sendirian, terpisah beberapa meja dari tempatku duduk, sesekali meneguk cangkir kopinya yang hampir kosong sementara mata-nya tetap konsentrasi pada kertas yang sedang dia baca. Aku terus mengamatinya. Sesuatu tentangnya membuatku tertarik, kepalanya yang miring, jari-jari yang terus menerus menyeka rambutnya. Dia mendongak sekali dan mendapati mataku yang melihatnya. Dia tersenyum sekilas sebelum matannya kembali membaca kertas yang dia pegang. 

Aku melihat mata hazel - tidak hijau tapi tidak coklat. Mata itu cukup lama melekat dalam ingatanku, sebagai fitur yang paling menarik. Aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa banyak hal yang lebih penting dari sekedar keebihan fisik, namun harus ku akui selalu ada daya tarik tertentu dari eksterior wanita ini, kemasan wanita ini, terutama ketika ia berdiri saat pergi dan aku menyadari bahwa dia secara fisik cukup menarik. 

Aku ingat kali ke dua aku datang ke cafe. Saat itu dua hari setelah kunjungan pertama ku dan aku terus menerus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku kembali karena makanan di situ begitu enak. Pada kesempatan kedua aku perjalanan keluar, ketika dia berjalan melewati pintu. Kali ini kami berdua tersenyum dan perhatianku telah tertarik pada, deretan gigi kecil putih yang berkilauan di antara bibirnya. Aku kecewa bahwa aku tidak punya alasan, atau waktu lebih untuk tinggal dan melihat dia lebih lama.

Masih duduk di ruanganku, berharap bisa mengeluarkan perempuan ini dari pikiranku dan hanya berkonsentrasi pada Ris. Sebelum aku menelepon Ris malam  ini, aku mempertimbangkan apakah perlu menceritakan tentang wanita itu atau tidak. Saat kami berbicara lewat telepon, aku mengatakan agak sedikit merasa takut untuk bertemu, merasa belum sepenuhnya yakin. Aku bertanya apakah dia merasakan hal yang sama. 

"Tidak, Aku tidak khawatir tentang pertemuan kita Vee Aku malah merasa bersemangat. Penasaran dan bersemangat. Aku tahu perasaanku dan tidak akan berubah ketika aku melihatmu nanti." nada hangat nya membuat tenggorokanku sedikit tersedak, sebelum aku tertawa dan bertanya apakah aku sudah memperingatkan dia tentang betapa jeleknya aku. 

Keesokan harinya tepat pukul 01.20 aku berada di jalan di dalam mobilku. Mempertimbangkan untuk melihat perempuan itu di sana lagi atau tidak. Aku tidak mengerti dorongan perasaan ini, aku bahkan merasa sedang berselingkuh dari Ris. Sementara pikiranku penuh dengan hal-hal tidak jelas ini, tanpa sadar aku sudah berada di luar Cafe Octavia! "Oh baiklah, mungkin mampir sebentar saja.” Pikirku.

Aku memasuki Cafe dan ada rasa kecewa saat aku melihat sekeliling. “Ah, mungkin lebih baik aku memesan makanan saja.” Pikirku. Aku memilih meja dengan posisi menghadap pintu. Pelayan muncul dengan pesananku ketika pintu terbuka dan dia berjalan masuk. Melihatku sekilas, tersenyum dan menyapa dengan sedikit canggung.

"Hai." Dia tampak ragu pada langkah nya - sebelum memilih meja kosong yang terletak agak jauh. Hatiku berdebar dan aku tidak yakin apakah itu perasaan lega atau kecewa karna dia memutuskan untuk tidak meminta duduk satu meja denganku.

Dia memesan makanan, sedikit bercanda dengan pelayan. Aku melirik saat melihat kepalanya mulai bergerak ke arahku. Berusaha tetap konsentrasi pada makan siangku, sedikit gugup saat dia terang-terangan mengamatiku. "Dia mungkin bertanya-tanya mengapa dia sering melihatku di sini atau bertanya-tanya mengapa aku tak pernah di temani siapapun."

Kami seperti bermain game, aku akan melihatnya sampai kepalanya mulai berbalik ke arahku. Kembali melihatnya, saat dia memalingkan muka. Dia selesai dengan makan siangnya, mengambil cangkir kopinya, memandang lurus ke arahku dan siap untuk berdiri. "Oh Tuhan! Dia datang! "Pikiranku panik. Di saat yang sama saat dia mendorong kursinya ke belakang, suara laki-laki mengagetkannya.

"Pat! Hai, keberatan jika saya bergabung denganmu " aku memandangnya dengan agak sedikit kecewa sementara dia melirik ke arahku sebelum dia menoleh dengan senyum ke arah laki-laki yang baru saja memasuki cafe.

"Hai Sam. Ya tentu saja kamu bisa bergabung denganku - tapi aku harus berangkat lima menit  lagi." Suaranya terdengar sedikit lebih keras. Mungkin untuk menutupi rasa malunya.

Suara mereka sedikit lebih rendah saat mereka terlibat dalam percakapan dan Pat menghabiskan kopinya. Dia menggeser kursinya ke belakang sekali lagi, saat berpamitan dengan laki-laki itu. Berjalan keluar dan melewati mejaku, aku berpaling untuk melirik ke arahnya. Dia berhenti sejenak, tersenyum dan berbicara.

"Hai, aku pernah melihatmu di sini beberapa kali. Mungkin besok kita bisa makan siang bersama besok-besok." Dia mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman.

"Oh hai Pat, maaf tapi aku tadi tidak sengaja mendengarkan." kataku dengan senyum dan mengangguk ke arah laki-laki tadi. "Namaku Veonna dan kamu mungkin akan melihatku di sini agak lebih sering. Makanan di sini lezat. ". Cengkeramannya tegas dan sejuk.

"Senang bertemu kamu Veonna. Aku harus buru-buru sekarang - janji sore dll " tersenyum dan bergegas pergi, meninggalkanku kewalahan. Bagaimana ia bisa membuatku merasa sesenang ini? Kami hanya bertemu tiga kali. Di mana semua teoriku sekarang? Apa yang lebih penting? Mencintai 'bagian dalam' seseorang atau saat ini aku sedang jatuh hati dengan tampilan luar tanpa memikirkan seperti apa pribadinya? 


Bersambung... ke Stranger II

4 comments:

warm said...

keren euy ini nulisnya,
ayo sambungannya floo !!
*fans maksa2* :D

floo said...

hahaha... tu udah om sampe yg ke tigaaa... tamat deeehh... :D

Sinyo said...

Bener ya info darah itu kalo golongan darah AB itu plin plan, ga tegas, peragu wkwkwkwkwkwwkwk

floo said...

Hahahhaa... kok nyangkut2 golongan darah aaahh... :D

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...