Skip to main content

Namanya Dinda

Akhir-akhir ini semua media meributkan LGBT, dari mulai psikolog, ulama, penulis,bahkan ibu rumah tangga seolah mendadak berubah menjadi ahli yg lebih tau dari yang lain. Meresahkan mungkin untuk beberapa orang yang secara langsung terpengaruh ada juga tidak perlu repot ambil pusing memikirkannya. Yang aku lihat saat ini bukannya membuatku terganggu, tapi malah sedikit terkenang, penasaran, membuatku mengingat belasan tahun yang lalu.
Saat itu aku hanyalah anak kecil berumur 17 tahun yang selalu bisa mempertahankan peringkat 5 di kelas meskipun tidak bisa di bilang cukup hebat tapi lumayan untuk anak yang tidak pernah punya catatan, kadang membolos dan ketiduran di kelas, aku selalu bisa bertahan di saat-saat genting ujian dan lulus dengan hasil yang tidak terlalu buruk. Dulu tidak mengenal internet, social media bahkan mungkin belum ada. Aku menjalani masa remaja tidak berbeda dengan yang lain, mungkin hanya sedikit tomboy tapi tidak sampai berpenampilan seperti laki-laki. Semuanya sangat biasa, tapi entah apa, namun saat itu aku selalu merasa berbeda dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku hanya membebaskan diriku dengan segala kemungkinan bisa menyukai siapapun. Saat kau pernah merasa jatuh hati, kau akan tau saat kau jatuh hati, namun saat itu aku belum merasakannya, bahkan mungkin bila diingat lagi sekarang aku tidak merasakannya sampai belasan tahun kemudian.
Lalu di pertengahan tahun muncullah anak baru ini, Dinda anak pindahan dari Jakarta, penampilannya biasa saja cukup feminim kalo dibandingkan denganku. Ceria banyak tertawa, dia bisa dengan mudah akrab berkumpul dan jalan dengan semuanya. Terkadang kita bisa ngobrol lama di mana saja, sesekali pergi nonton beramai-ramai, atau hanya diam di rumahnya. Sampai suatu hari tinggalah aku dan dia berdua, hujan lebat di luar membuatku tidak bisa pulang. Di tengah obrolan kami, tiba-tiba dia terdiam.
‘Gimana rasanya di cium perempuan?’ Gumamnya, sambil melihatku. Entah bertanya padaku atau pada dirinya sendiri aku tidak yakin. Aku hanya diam sesaat, melihatnya di sebelahku kemudian aku menciumnya. Kita tidak sedang jatuh cinta dan akupun tidak sedang menyukainya dengan cara berbeda.
‘Lebih enak di cium laki-laki ya.’ Katanya sambil melihat keluar. Aku hanya tersenyum kecil sambil mengusap sudut bibir. Kami berdua diam, entah apa yang dia pikirkan tapi aku tidak mencoba bertanya. Mungkin rasanya akan berbeda bila aku menciumnya sekarang. 
Di sekolah, kita tidak membicarakan tentang ciuman itu, bahkan mungkin dia sedikit lebih banyak diam dan akupun tidak berusaha membuka obrolan. Mungkin setelah beberapa hari kami baru bisa beramai-ramai ngobrol nongkrong seperti biasa, seolah satu ciuman itu tidak pernah terjadi. Kami menghabiskan sisa tahun sekolah bersama-sama. Kemudian saat semuanya lulus, dia pulang ke Jakarta dan aku pergi kekota lain melanjutkan sekolah. Aku menjalani kehidupku dan berhubungan dengan beberapa perempuan, namun 19 tahun berlalu tanpa tau dia seperti apa dan dimana.
Kemudian hari ini, saat aku duduk di depan tv aku kembali memikirkan dia, apakah dia melihat semua berita tentang LGBT ini atau membacanya entah di mana, kemudian teringat ciuman kami. Apa yang dia pikirkan saat menontonnya, apakah dia juga mengingatku?

Comments

Popular posts from this blog

Stranger III

Aku bergegas pulang, mencuci rambut, mengenakan baju merah dan mencari celana hitam namun tidak berhasil menemukannya di mana pun. Sialan! Di mana aku meletakannya? Tak ada waktu lagi aku memutuskan untuk mengenakan rok hitam. Tersenyum pada diriku sendiri saat berdiri di depan cermin, stoking hitam dan sedikit make-up. Melirik jam, baru sadar sudah jam 18:45. Seharusnya sudah berangkat. Aku memutuskan untuk berjalan ke bar karena cukup dekat, hanya beberapa blok dari tempat tinggalku. Aku mungkin akan memesan minum untuk membuatku sedikit lebih santai dan menunggu Ris. Sesampainya di bar tepat pukul 07:00, aku disambut Sue di depan counter. Aku memesan anggur putih, melirik sekeliling, satu kelompok orang di sebelah bawah bar, beberapa orang di salah satu stand dan beberapa anak perempuan di sudut agak gelap. Ada lagi sekelompok perempuan di ruang sebelah kolam renang tapi mereka semua memakai pakaian hitam atau t-shirt putih. Duduk menunggu, senang bahwa Sue sedikit sibuk k...

Lost Somewhere or Just Living My life?

Oh... waaw.... Sepertinya saya sudah menjadi anak yang hilang, tersesat entah di mana.   Seiring bertambahnya usia, kita terlalu malas mengurusi urusan temeh, drama yang tidak jelas. Fokus pada perjuangan kita sendiri untuk menjadi manusia sehingga setiap momen rentan, mungkin akan berumur pendek dalam ingatan. Saat kamu mencapai tingkat dalam hidup menjadi baik-baik saja, kamu merasa tidak memerlukan apapun lagi. Tapi Kenyamanan itu yang justru menimbulkan kebosanan.     But Sometimes, sometime... I miss those feelings, the freedom, the goosebumps when you see a new place, the joy of traveling, breathing air to your heart's content... being my self.

The Curse

Rabu kemaren salah satu kawan menyebut nama saya jadi salah satu orang yang di kutuk juga... ternyata kutukan ini berisi 11 hal tentang saya dan 11 hal yang harus saya jawab, dan 11 pertanyaan yang harus saya buat... jadi sebenernya gak bener-bener 11 ya... klo di jumlahin malah jadi 33 biji. Haduuhh... Pagi-pagi dah dapet Per Er jugaaa... banyak pulaaa....  Baiklaahhh... ayo kita mulai kerjain Per Er nya... tapi sebelum nulis tuh, saya biasanya ritual dulu, ngopi dulu lah, ngerokok dulu lah, twitteran dulu lah, efbean dulu lah... hehehe... Akhirnya gak nulis-nulis. Canggih ya.... hehe...  11 tentang Floo : 1. Saya anak pertama dari 4 bersodara, entah mungkin karena anak paling gede nih, sejak kecil saya paling sering di suruh ini itu. Mulai ambil kayu bakar di hutan sampe gembala sapi... hehehe.. gak denk. Keluarga mempercayakan banyak hal pada saya... termasuk mengurus diri sendiri. Dari zamannya saya masih SMU sampe kerja, saya ngekos (beli rumah belum mampu w...