Thursday, September 1, 2016

Madeline

Café sudah mulai sepi saat aku memutuskan untuk pulang. Malam yang membeku. Merapatkan jaket dan memasukan tanganku ke dalam saku sementara ujung bibir menjepit rokok yang tinggal setengahnya. Di langit, lekuk-lekuk awan seperti tak sabar melompat liar. Hampir jam 2 pagi ada kelengangan di luar, hanya klakson mobil dan sirine ambulan terdengar dari kejauhan. Gedung-gedung memagar langit, orang-orang kelelahan berusaha kembali pulang. Mungkin memang sudah waktunya pulang, perjalananku masih 3 jam untuk sampai di rumah.
Masih berdiri di pinggir jalan saat aku melihatnya, dia berdiri di bawah cahaya lampu, anggun, dengan senyum yang selalu indah, gaun yang sama yang dia kenakan pada malam terakhir aku meliahtnya. Aku tahu itu tidak mungkin dia.
"Halo Alex..." Tiba-tiba dia bicara, terlalu shock tanpa sadar rokokku jatuh dan membakar mantel yang aku kenakan. Dia bukan sekedar khayalanku, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
“Kamu…? Ini tidak mungkin kamu” menggelengkan kepala berharap ini tidak nyata.
"Mengapa tidak? Kemarilah, sentuh!" Dia mengulurkan tangannya. "Aku bukan hantu, Aku hanya terlihat basah dan kedinginan. Kamu meninggalkanku sendirian.”
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Aku tergagap.
"Ya, kamu tau maksudku" Aku menarik tanganku, terlalu takut untuk menyentuhnya. Mundur beberapa langkah dan hanya segera pergi dari situ yang ada di dalam pikiranku.
“Alex…” Panggilnya lagi dan aku sudah membalikan badan lari secepat mungkin meninggalkannya di sana.
Aku tau, kembali ke dermaga ini lagi adalah hal yang paling bodoh untuk dilakukan. Jangan sekalipun pernah kembali ke TKP. Begitulah biasanya pembunuh tertangkap. Jangan pernah kembali.
Aku yakin, dia sudah mati, dan seharusnya dia membusuk di dasar dermaga saat ini.
Malam itu kami bertengkar hebat dan tanpa sengaja dia terjatuh, kepalanya membentur pagar besi dengan cukup keras hingga tak sadarkan diri, atau mungkin juga mati. Aku terlalu panik untuk memeriksa denyut nadi, yang kutau darah mengalir cukup deras dari kepalanya. Malam sudah terlalu gelap ketika aku menenggelamkannya dengan jangkar yang terikat di pinggangnya. Aku yakin ketika mereka menemukannya, aku sudah pergi jauh dari sini. Tapi itu sudah tiga minggu yang lalu.
Ketika aku tiba di dermaga, aku masih melihat sisa dari tali yang aku gunakan untuk mengikat jangkar ke tubuhnya sebelum aku buang dia ke dasar dermaga. Aku duduk, kakiku menjuntai di tepi. Melihat sekeliling dan cukup yakin tak seorang pun memperhatian. Hari sudah gelap dan terlalu sepi. Aku menanggalkan semua yang aku kenakan dan hanya menyisakan celana panjang, dan senter di tangan kananku.
Aku melihat sekeliling sekali lagi dan masuk ke dalam air dingin. Menyelam lurus ke bawah sekitar lima meter mencari-cari hingga aku melihatnya di sana perempuan itu, atau lebih tepatnya sisa-sisa darinya. Lega, aku menendang dasar air untuk kembali ke atas. Terengah-engah berusaha memenuhi paru-paruku kembali dengan udara.
"Mau saya bantu naik, Alex?"
Aku ditarik ke dermaga oleh sepasang polisi yang segera memamasangkan borgol di kedua tanganku.
"Temui Clara, saudara kembar Madeline. Clara bercerita tentang Anda, dan ketika Madeline tidak memenghubunginya selama berhari-hari, Clara curiga dan mengira kau melakukan sesuatu padanya. Saya benar-benar minta maaf harus seperti ini. Sekarang, mari ikut kami.” Salah satu polisi itu menjelaskan.

2 comments:

Anonymous said...

Keren flooooo! Bikin lagi doms <3

floo said...

Hehehehe... siyaaapp...

Given

I thought that love would be softer, sweeter and kinder. I found out with my first love that those thoughts were just a happy delusion. Fall...