Wednesday, November 16, 2016

Kereta Pagi

Bekerja di jakarta dan memiliki rumah di luar Jakarta, artinya setiap hari harus selalu memulai hari dengan mengejar jadwal kereta. Dan tentu saja antrian panjang di station sudah menunggu saling berebut kursi kosong. Tapi hari ini aku sedikit beruntung.
Kereta mulai bergerak, semua kursi penuh bahkan beberapa orang harus rela berdiri. Dan ini bahkan belum semua, kereta masih harus berhenti di beberapa station untuk menaikan penumpang lain sebelum berhenti di tempat tujuanku. 
Orang yang berdiri semakin padat, beberapa orang harus berdiri saling berdempetan. Satu orang berdiri menghadapku, atau lebih tepatnya menghadap jendela dibelakangku. Bisa di bilang rata-rata perempuan di gerbong ini adalah penumpang yang sama setiap harinya. Kami akan bertemu saat berangkat kerja dan juga sore hari saat pulang.
Aku pernah melihatnya beberapa kali, dan ini menjadi minggu ketiga secara berturut-turut kami berdua berada di gerbong yang sama. Dia tersenyum setiap kali mata kami bertemu dan itu membuatku agak tidak nyaman, seolah dia bisa melihat menembusku.
Dia tinggi dengan rambut panjang yang sebagian dia ikat sembarang ke belakang, caranya berpakaian kombinasi yang sederhana dengan warna-warna natural dan hangat serta kacamata yang membuatnya terlihat lebih menarik. Aku terka usianya tidak jauh berbeda dariku, bukan orang yang terlalu banyak bicara.
Kereta sedikit bergoyang membuat badannya condong ke depan dan kebelakang, ketika dia sedikit membungkuk, aku bisa mencium aroma samar parfumnya, aroma yang sedikit maskulin namun lebih lembut dari parfum laki-laki. Diam-diam aku menengadah untuk melihat wajahnya sekilas dan mendapatinya menunduk menatap lurus ke arahku dan tersenyum.
"Bukunya bagus?" Tanyanya, sambil menunjuk buku yg sedang ku baca.
Aku tersenyum dan mengangguk dan menjawab 'ya'. Setelah beberapa detik. "Belum semua aku baca, aku baru saja membelinya." Tambahku.
“The girl on the train ya?” tanyanya lagi.
Aku begitu asyik melihat bibirnya seolah bergerak dengan lambat, dan membuatku hampir tidak memperhatikan pertanyaannya. 
"ah, ya... thriller psikologi... " jawabku
"Sungguh? Sepertinya menarik.” Aku tertawa gugup, menyadari sesuatu yang penting terlewatkan. Aku sedikit membetulkan letak dudukku dan mengulurkan tangan "Namaku Ann."
“Jill." Dia meraih tanganku dan tertawa pelan. "Kapan-kapan ceritakan isi bukunya.” Lanjutnya.
"Tentu, dengan senang hati." Jawabku. Saat itu, saat kami menatap mata satu sama lain, aku bertanya-tanya apa yang dilihatnya ketika dia menatap mataku. Apakah dia hanya melihat pupil hitam dikelilingi warna coklat atau apakah dia melihat sesuatu yang lebih dari itu? Apakah dia melihat pikiran dan emosiku atau bahkan mungkin jiwaku? Kemudian dengungan suara pengumuman mengalihkan perhatian kami. Aku mendengarkan dan menyadari aku harus turun di station itu. Ketika aku melihatnya kembali, tangan kami masih bersalaman.
"Ah maaf aku harus turun di sini.” Kataku melepaskan genggamannya dan berdiri dengan sedikit terburu-buru.
"Silakan, tentu saja.“ dia tersenyum tenang memberiku jalan untuk keluar. Aku segera keluar kereta dengan sedikit tergesa-gesa bersama penumpang yang lain.
Aku meliriknya, dan dia masih memperhatikankku dari dalam kereta yang pelan-pelan mulai bergerak kembali. Aku tahu aku tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. Tau bahwa kami akan bertemu lagi di kereta yang sama.

Thursday, September 1, 2016

Madeline

Café sudah mulai sepi saat aku memutuskan untuk pulang. Malam yang membeku. Merapatkan jaket dan memasukan tanganku ke dalam saku sementara ujung bibir menjepit rokok yang tinggal setengahnya. Di langit, lekuk-lekuk awan seperti tak sabar melompat liar. Hampir jam 2 pagi ada kelengangan di luar, hanya klakson mobil dan sirine ambulan terdengar dari kejauhan. Gedung-gedung memagar langit, orang-orang kelelahan berusaha kembali pulang. Mungkin memang sudah waktunya pulang, perjalananku masih 3 jam untuk sampai di rumah.
Masih berdiri di pinggir jalan saat aku melihatnya, dia berdiri di bawah cahaya lampu, anggun, dengan senyum yang selalu indah, gaun yang sama yang dia kenakan pada malam terakhir aku meliahtnya. Aku tahu itu tidak mungkin dia.
"Halo Alex..." Tiba-tiba dia bicara, terlalu shock tanpa sadar rokokku jatuh dan membakar mantel yang aku kenakan. Dia bukan sekedar khayalanku, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
“Kamu…? Ini tidak mungkin kamu” menggelengkan kepala berharap ini tidak nyata.
"Mengapa tidak? Kemarilah, sentuh!" Dia mengulurkan tangannya. "Aku bukan hantu, Aku hanya terlihat basah dan kedinginan. Kamu meninggalkanku sendirian.”
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Aku tergagap.
"Ya, kamu tau maksudku" Aku menarik tanganku, terlalu takut untuk menyentuhnya. Mundur beberapa langkah dan hanya segera pergi dari situ yang ada di dalam pikiranku.
“Alex…” Panggilnya lagi dan aku sudah membalikan badan lari secepat mungkin meninggalkannya di sana.
Aku tau, kembali ke dermaga ini lagi adalah hal yang paling bodoh untuk dilakukan. Jangan sekalipun pernah kembali ke TKP. Begitulah biasanya pembunuh tertangkap. Jangan pernah kembali.
Aku yakin, dia sudah mati, dan seharusnya dia membusuk di dasar dermaga saat ini.
Malam itu kami bertengkar hebat dan tanpa sengaja dia terjatuh, kepalanya membentur pagar besi dengan cukup keras hingga tak sadarkan diri, atau mungkin juga mati. Aku terlalu panik untuk memeriksa denyut nadi, yang kutau darah mengalir cukup deras dari kepalanya. Malam sudah terlalu gelap ketika aku menenggelamkannya dengan jangkar yang terikat di pinggangnya. Aku yakin ketika mereka menemukannya, aku sudah pergi jauh dari sini. Tapi itu sudah tiga minggu yang lalu.
Ketika aku tiba di dermaga, aku masih melihat sisa dari tali yang aku gunakan untuk mengikat jangkar ke tubuhnya sebelum aku buang dia ke dasar dermaga. Aku duduk, kakiku menjuntai di tepi. Melihat sekeliling dan cukup yakin tak seorang pun memperhatian. Hari sudah gelap dan terlalu sepi. Aku menanggalkan semua yang aku kenakan dan hanya menyisakan celana panjang, dan senter di tangan kananku.
Aku melihat sekeliling sekali lagi dan masuk ke dalam air dingin. Menyelam lurus ke bawah sekitar lima meter mencari-cari hingga aku melihatnya di sana perempuan itu, atau lebih tepatnya sisa-sisa darinya. Lega, aku menendang dasar air untuk kembali ke atas. Terengah-engah berusaha memenuhi paru-paruku kembali dengan udara.
"Mau saya bantu naik, Alex?"
Aku ditarik ke dermaga oleh sepasang polisi yang segera memamasangkan borgol di kedua tanganku.
"Temui Clara, saudara kembar Madeline. Clara bercerita tentang Anda, dan ketika Madeline tidak memenghubunginya selama berhari-hari, Clara curiga dan mengira kau melakukan sesuatu padanya. Saya benar-benar minta maaf harus seperti ini. Sekarang, mari ikut kami.” Salah satu polisi itu menjelaskan.

Friday, July 29, 2016

My Favorite Cafe Girl


Dengan hati-hati Hanna memarkir mobilnya di tempat kosong di sisi jalan, dia baru saja membeli RAV yang bisa dibilang setengah baru lebih dari sebulan lalu , masih ada perasaan yang menyenangkan saat berjalan keluar dan melihatnya terparkir. Untuk seseorang yang berada pada satu titik telah memiliki semuanya, rasanya menyenangkan tahu bahwa segala sesuatu akhirnya berjalan persis ke arah yang dia mau. Sekarang, jika dia sekali saja bisa sukses dalam kehidupan cintanya , dia mungkin akhirnya benar-benar bisa mati bahagia. 

Dia memarkir mobilnya dengan mulus, menarik tasnya dari kursi sebelah dan melangkah keluar, sandalnya berkeletak saat dia mengunci pintu dan berjalan ke trotoar. Jalanan terlihat kosong hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang tanpa menyadari kehadirannya. Tanggal tua untuk berbelanja, dan dengan matahari yang sudah tenggelam di antara gedung-gedung tinggi, kebanyakan orang bergegas pulang untuk makan malam dan menonton berita pukul sepuluh. Dia melewati sudut jalan dan melangkah menyusuri trotoar, matanya menyipit menyesuaikan diri dengan lampu jalan. Sebagian besar jendela terlihat gelap, namun ada cahaya yang berasal dari jendela sebuah café menyinari trotoar dengan riang, semacam oasis diantara jalanan sepi yang muram. 

Denga tas yang tersandang canggung di bahunya Hanna mulai berjalan kearah café itu. Ada perasaan aneh menggeliat di dalam perutnya, sesuatu yang mirip dengan… kecemasan, perasaan yang sama seperti ketika pergi pada kencan pertama! Bagaimana bisa terjadi? Itu karena Anna, pelayan yang bekerja di sini telah menarik perhatiannya dua hari yang lalu. Berhenti untuk minum coffee setelah hari yang panjang di tempat kerja (sesuatu yang biasanya dia lakukan di starbucks seperempat mil dari sini), dia telah mendapati dirinya diam-diam terpesona dengan perempuan muda yang membawakan pesanannya. 

Untuk pertama kalinya, mungkin di selama hidupnya dia merasa begitu penasaran apakah perempuan itu tertarik kepadanya atau tidak. Dan rasa penasaran membuatnya gila! Sekali lagi dia berpikir kembali ke pertemuan singkat mereka dua malam yang lalu, mengulangi setiap nuansa ekspresi perempuan itu dan nada dengan rincian obsesif - seperti yang telah ia lakukan berulang kali selama dua hari terakhir. Percakapan pendek mereka, biasa, dan sebagian besar tidak berbahaya. Tetapi Anna tentu saja bicara dengan cara yang sama dengan banyak pelanggan yang lain. Tidak ada yang istimewa tentang hal itu sama sekali, sungguh. 

Thank god i didn't tell any of my friends about this. Pikirnya. 

Namun... Ketika ia membuka matanya dan mendapati Anna menatapnya dengan intensitas terang-terangan seperti itu, hampir tidak ada keraguan dalam pikirannya bahwa wania ini tertarik padanya. Tatapannya seolah mengandung listrik, seperti ada volt rendah mengalir di bawah permukaan kulitnya. Sekarang, satu tatapan bisa berarti banyak hal. Mungkin sesuatu yang mengerikan, atau bahkan memalukan. Dia masih berdiri di luar café seperti seorang pengecut atau lebih parah lagi penguntit aneh. Apa ini hanya penasaran biasa? Atau rasa kopinya memang begitu enak sampai dia berulang kali kembali lg ke sini. 

Screw it, gumamnya geram. 

Bel berdentang sedikit lebih keras saat dia mendorong pintu berlahan dan berjalan memasuki cafe, dia meyakinkan dirinya bahwa dia di sini hanya untuk kopi dan internet sampai perempuan itu… Anna menatapnya dari balik counter. Hanna tersenyum seraya meraih kursi kosong terdekat dan duduk tidak jauh dari tempat Anna berdiri. Gadis itu tersenyum gugup dan menanyakan apa yang akan Hanna pesan. Bertekad agar terliat lebih santai karna tentu saja ini bukan pertama kalinya ia tertarik pada seorang gadis cantik, demi Tuhan. 

Matanya diam-diam mengamati perempuan di belakang meja itu selama beberapa detik sebelum menjawab. Anna berpakaian sama seperti yang terakhir dia lihat, kasual, celana jeans yang tampak nyaman dan kemeja polo putih dengan tag nama dan logo cafe itu, sedikit terlihat kontras dengan lengannya yang kecokelatan. Rambutnya diikat menyerupai ekor kuda yang berkesan terburu-buru. Wajahnya yang kekanakan dan gelisah terlihat menarik... Dan Hanna bukan satu-satunya yang berpikir begitu. 

Seperti hiburan, dia menyaksikan seorang pemuda yang mungkin menghabiskan sebagian besar hari-harinya di dalam gym. Memesan minuman, dan kemudian mulai mencoba menggodanya. Pertama tertawa terbahak-bahak dengan leluconnya sendiri. Namun dua pelanggan di belakangnya dengan tidak sabar sedikit membentak, sampai akhirnya pemuda itu meraih latte, dan pergi dengan wajah cemberut. Hanna tak dapat menahan tawanya melihat semua itu. 

Dia memutuskan untuk menunggu sampai kopinya benar-benar habis sebelum meminta di isi kembali. Selama beberapa menit berikutnya dia fokus sepenuhnya pada laptop, memilah-milah e-mail dan memindahkan beberapa foto pekerjaan ke file untuk diarsipkan. Dia mendongak untuk memeriksa keadaan sekitarnya ketika menyadari tiba-tiba café itu terasa lebih tenang, Café ini sudah benar-benar kosong, hanya ada Anna di belakang meja. Yang, kebetulan, menatapnya dengan intensitas dan ekspresi yang sama yang dia lihat dua hari yang lalu. 

"Apa anda ingin menambah kopinya lagi?" suaranya sedikit gugup seperti menutupi rasa malu karna tertangkap basah mengamatinya dengan diam-diam.  

Woah… pikir Hanna. Wajah itu benar-benar bisa membuat seseorang jatuh hati dengan begitu keras. 

"Yes please…," katanya, lalu terbatuk sedikit seolah kata yang keluar membuatnya sedikit tersedak. "Sepertinya sedikit sibuk malam ini? "Hanna berusaha membuka obrolan. Anna mengangguk pelan, melirik sekeliling café dengan ekspresi lelah, seakan menyadari untuk pertama kalinya orang-orang sudah pergi. 

"Oh, yah sedikit lebih sibuk dari pada biasanya. Kami tadi membuat sedikit pertunjukan music dan baru saja selesai ketika anda berjalan masuk." kata Anna, melambaikan tangannya ke arah pengaturan platform dan-podium yang sebelumnya tidak Hanna perhatikan. Sebagian besar kursi dan meja telah sedikit di susun ulang. "Sebagian besar orang-orang ini mungkin akan kembali hanya di jam-jam tertentu, dan saat mereka pergi tempat ini akan tenang seperti biasa lagi," lanjutnya sambil tersenyum. Dia sedang sibuk menerima pesanan dari beberapa pelanggan yang berbeda, namun dia masih melihat ketika kedatanganku? Itu sedikit... Menjanjikan. 

Pikiran liar menyebabkan sedikit perasaan hangat menyusup ke dadanya, dan ia berjuang untuk menekannya, mengingatkan dirinya lagi bahwa ia telah memutuskan untuk tidak naksir perempuan ini. Sayang sekali dia terkenal karena ketidak mampuannya mengikuti akal sehat. 

"Yah… tenang, tetapi terkadang sangat membosankan jika tidak ada seorang pun yang bisa kita ajak bicara." Anna tersenyum pahit. Hanna sedikit tertawa, menggelengkan kepala tragis. Mereka berbagi senyum untuk sesaat, dan kemudian Hanna ingat cangkir kopinya kosong. 

"Berbicara tentang rasa bosan ," katanya, meraih cangkir dan sedikit mengangkatnya, "Ini sudah terlalu lama sejak saya meneguk sisa kopi terakhir. Apa kamu tidak keberatan mengisinya lagi sebelum saya pergi? " 

"Tentu saja," kata Anna, meraih cangkir bahkan sebelum Hanna menyodorkannya. "Kopi yang sama seperti sebelumnya?" Tanyanya sambil melirik lewat bahunya. 

"Yes please..", Hanna menjawab dengan segera. 

Anna berbalik kembali dan bau kopi yang dituangkan menyeruak memenuhi ruangan. Hanna memaksa dirinya untuk tidak melihat punggung dan postur tubuh munggilnya. Dan ... Bagian tengkuk putih dengan rambut-rambut halus berantakan yang seolah mengundangnya. 

Oke, baik, berusaha untuk tidak melihatnya bukanlah hal yang mudah. Untungnya, kedua matanya patuh dan pikiran sedikit nakal telah dimasukkan kembali ke tempat yang tepat pada saat Anna kembali. 

"Nah," katanya, menyerahkan cangkir yang sekarang penuh kembali. Hanna mengucapkan terima kasih dan menyesapnya sedikit, berusaha merencanakan alasan yang masuk akal untuk mengajaknya bicara, tetapi terkejut menemukan bahwa Anna terdiam memperhatikannya. 

Hanna meneguk kopinya dan berusaha tetap fokus menjaga kegembiraan agar tidak kentara dengan jelas di wajahnya. Sekarang Anna berdiri di hadapannya, tiba-tiba sadar akan kekacauan di depannya, komputer, dan berbagai barang-barang yang tersebar di seluruh meja kecil, membuat penuh setiap inci ruang yang tersedia. Sedikit malu, dia bergumam cepat "Sorry about the mess" dan mulai memasukan kembali barang-barangnya ke dalam tas. 

"Jadi anda bisakah menceritakan apa yang sedang anda kerjakan?" Hanna mengerjap, dari pertama kali mereka bertemu, dia merasa sudah mengoceh dan bicara terlalu banyak selama ini. Salah satu dari beberapa hal yang dia sesali dari pertemuan mereka. Anna telah menjadi pendengar yang baik, tapi Hanna merencanakan untuk menutup mulut besarnya kali ini dan membiarkan perempuan ini berbicara. 

Hanna memiringkan komputernya sehingga Anna bisa melihat dari tempatnya berdiri. Side-by-side begitu dekat sehingga mereka berdua bisa melihat layar komputer, Hanna mulai memperlihatkan beberapa sampel dari karyanya, memilih proyek dan tempat-tempat yang mungkin Anna kenali, serta beberapa yang menjadi favoritnya. Merasa lebih percaya diri dan santai saat berbicara Hanna sebenarnya cukup ahli dalam pekerjaannya, dan Anna adalah pendengar yang sangat baik - foto dan percakapan mulai mengalir begitu saja. 

"Wow," kata Anna, kepala menunduk dekat pada layar dan mata abu-abunya lekat memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukan Hanna. "Ini benar-benar, Hebat!" Katanya, sambil melirik Hanna sekilas. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikanya?"

"Mungkin sekitar beberapa minggu," jawab Hanna.

Selama percakapan dia berhasil focus sepenuhnya pada layar dan gambar beberapa yang diakerjakanya. Tapi sekarang, saat ia bersandar dan mengambil waktu sejenak untuk menarik napas, ia mendapati dirinya terganggu oleh hal-hal lain ... Rambut Anna, beberapa helai rambut keluar dari ikatan ekor kudanya, sedikit berantakan jatuh ke lehernya. Cahaya putih dari komputer menyinari wajah lembut dan terlihat antusias. Wajahnya hanya terpisah beberapa cm darinya, dan Hanna hampir bisa merasakan Anna begitu dekat di sampingnya, seperti aliran panas listrik di sepanjang sisi kanan seluruh tubuhnya. Dia sedikit merinding saat lengan mereka hampir bersentuhan, dia mengepalkan tangannya membentuk sebuah tinju untuk menahan sensasi itu. 

"Kamu benar!" Katanya, sambil memperhatikan sekeliling caffee. "Disini hampir setenang kuburan ... Kerumunan orang akhirnya mulai hilang." 

"Terima kasih Tuhan," Anna berseru dengan kesungguhan yang mengejutkan, kemudian tiba-tiba wajahnya memerah dan tampak malu dengan ledakan kejujurannya. 

Hanna tertawa, menyukai kepolosannya yang tampaknya tidak memiliki filter antara otak dan mulutnya, yang membuatnya mengatakan apa yang benar-benar dia pikirkan hampir setiap kali dia bicara. Hanna mulai merasa bahwa Anna sebenarnya cukup riang dan lucu, sebuah fakta yang tidak segera jelas terlihat dari tampilan luarnya yang pemalu dan kikuk. Mereka telah duduk dan berbicara selama lebih dari setengah jam, namun ia berhasil untuk tidak membocorkan fakta tentang dirinya - bahkan dia tidak hanya sekedar lewat. 

Sebuah tangan datang entah dari mana dan menepuk bahu kiri Anna, membuat mereka berdua melompat dengan rasa kaget yang terlihat jelas di wajah mereka. Itu adalah perempuan tua yang bekerja di ujung meja, datang untuk mengingatkan Anna bahwa mereka akan tutup tiga puluh menit. Dia mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu (yang namanya ternyata Heidi), saat perhatiannya kembali ke Hanna, dia seperti seseorang yang baru saja terbangun secara tiba-tiba dari lamunan. Hanna membayangkan bahwa wajahnya sendiri tampak terlihat sama, dia terlalu fokus memperhatikannya hingga seolah dunia di sekitar mereka benar-benar diblokir dan dilupakan. Melirik arlojinya dan terkejut melihat betapa banyak waktu berlalu. Sudah waktunya untuk pergi, tapi bagaimana mengakhirinya? Pikirannya segera beralih ke semua hal-hal yang biasa dikatakan di akhir kencan pertama “I had a great time”, “We should do this again”, “How about we go back to my place after this.....?” Nah, yang terakhir pasti keluar. Dan, kalau dipikir-pikir lagi, tidak benar-benar pantas untuk situasi saat ini. 

"Aku senang anda datang malam ini," kata Anna, memecah keheningan yang canggung. "Disini akan menjadi sangat membosankan tanpa Anda." Lanjutnya dengan pipi bersemu merah. 

"Aku juga," katanya, merasa sedikit mual dan berusaha menahan dorongan untuk mengajaknya berkencan, suatu tindakan yang mungkin akan menjadi bencana. "... Aku senang telah datang. Tempat ini bagus, dan saya benar-benar menikmati percakapan kita. Aku harap aku tidak membuat kamu bosan! " 

"Tidak, tidak sama sekali," kata Anna, tersenyum. Anna berbicara dengan kejujuran yang sederhana, nada suaranya terus terang tanpa sedikit pun sindiran. Tetapi dia masih tidak yakin apakah Anna tertarik padanya. Hanna mengatakan selamat tinggal dan mulai mengumpulkan barang-barangnya. Dengan sedikit mengintip dari balik bahunya dan berjalan menuju pintu depan, merasa seolah-olah ditarik tanpa daya untuk melawan. 

"Oh, tunggu," Anna memanggil ragu, menunggu Hanna berbalik. "Datanglah lagi. " Senyum malu-malunya membuat jantung Hanna berhenti. And just like that, hope springs eternal. She was so screwed.

Monday, July 25, 2016

Yet you find yourself begging for love, for attention, for forgiveness. 
Worse, you keep begging, always begging... and you hate yourself for it.


Tuesday, March 8, 2016

Namanya Dinda

Akhir-akhir ini semua media meributkan LGBT, dari mulai psikolog, ulama, penulis,bahkan ibu rumah tangga seolah mendadak berubah menjadi ahli yg lebih tau dari yang lain. Meresahkan mungkin untuk beberapa orang yang secara langsung terpengaruh ada juga tidak perlu repot ambil pusing memikirkannya. Yang aku lihat saat ini bukannya membuatku terganggu, tapi malah sedikit terkenang, penasaran, membuatku mengingat belasan tahun yang lalu.
Saat itu aku hanyalah anak kecil berumur 17 tahun yang selalu bisa mempertahankan peringkat 5 di kelas meskipun tidak bisa di bilang cukup hebat tapi lumayan untuk anak yang tidak pernah punya catatan, kadang membolos dan ketiduran di kelas, aku selalu bisa bertahan di saat-saat genting ujian dan lulus dengan hasil yang tidak terlalu buruk. Dulu tidak mengenal internet, social media bahkan mungkin belum ada. Aku menjalani masa remaja tidak berbeda dengan yang lain, mungkin hanya sedikit tomboy tapi tidak sampai berpenampilan seperti laki-laki. Semuanya sangat biasa, tapi entah apa, namun saat itu aku selalu merasa berbeda dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku hanya membebaskan diriku dengan segala kemungkinan bisa menyukai siapapun. Saat kau pernah merasa jatuh hati, kau akan tau saat kau jatuh hati, namun saat itu aku belum merasakannya, bahkan mungkin bila diingat lagi sekarang aku tidak merasakannya sampai belasan tahun kemudian.
Lalu di pertengahan tahun muncullah anak baru ini, Dinda anak pindahan dari Jakarta, penampilannya biasa saja cukup feminim kalo dibandingkan denganku. Ceria banyak tertawa, dia bisa dengan mudah akrab berkumpul dan jalan dengan semuanya. Terkadang kita bisa ngobrol lama di mana saja, sesekali pergi nonton beramai-ramai, atau hanya diam di rumahnya. Sampai suatu hari tinggalah aku dan dia berdua, hujan lebat di luar membuatku tidak bisa pulang. Di tengah obrolan kami, tiba-tiba dia terdiam.
‘Gimana rasanya di cium perempuan?’ Gumamnya, sambil melihatku. Entah bertanya padaku atau pada dirinya sendiri aku tidak yakin. Aku hanya diam sesaat, melihatnya di sebelahku kemudian aku menciumnya. Kita tidak sedang jatuh cinta dan akupun tidak sedang menyukainya dengan cara berbeda.
‘Lebih enak di cium laki-laki ya.’ Katanya sambil melihat keluar. Aku hanya tersenyum kecil sambil mengusap sudut bibir. Kami berdua diam, entah apa yang dia pikirkan tapi aku tidak mencoba bertanya. Mungkin rasanya akan berbeda bila aku menciumnya sekarang. 
Di sekolah, kita tidak membicarakan tentang ciuman itu, bahkan mungkin dia sedikit lebih banyak diam dan akupun tidak berusaha membuka obrolan. Mungkin setelah beberapa hari kami baru bisa beramai-ramai ngobrol nongkrong seperti biasa, seolah satu ciuman itu tidak pernah terjadi. Kami menghabiskan sisa tahun sekolah bersama-sama. Kemudian saat semuanya lulus, dia pulang ke Jakarta dan aku pergi kekota lain melanjutkan sekolah. Aku menjalani kehidupku dan berhubungan dengan beberapa perempuan, namun 19 tahun berlalu tanpa tau dia seperti apa dan dimana.
Kemudian hari ini, saat aku duduk di depan tv aku kembali memikirkan dia, apakah dia melihat semua berita tentang LGBT ini atau membacanya entah di mana, kemudian teringat ciuman kami. Apa yang dia pikirkan saat menontonnya, apakah dia juga mengingatku?

reminder

- Aku sudah cukup bertahan selama 10 th ini - Aku tidak mau hubungan yg hanya pagi selamat pagi dan malam selamat malam tanpa berusaha salin...